Teori
Organisasi
1. Teori Taylorisme
Taylorisme
adalah nama yang populer untuk gagasan F. W. Taylor dan kini bersinonim dengan
sebutan “efficiency expert”. Berikut
lima prinsip dasar Taylorisme:
a)
Geser tanggung jawab keorganisasian dari
pekerja ke manajer. Manajer adalah pihak yang harus memikirkan perencanaan dan
perancangan kerja.
b)
Gunakan metode ilmiah (scientific method) untuk menentukan cara
yang paling efisien untuk melakukan suatu pekerjaan (misalnya dengan memakai
teknik time and motion study).
Kemudian rancanglah pekerjaan untuk tiap pekerja dengan menetapkan secara jelas
dan detail mengenai pekerjaan apa saja yang dilakukan.
c)
Pilih orang yang tepat untuk melakukan
pekerjaan yang baru dirancang tersebut.
d)
Latihlah karyawan tersebut untuk
melakukan pekerjaannya secara efisien.
e)
Lakukan monitoring terhadap kinerja
karyawan untuk menjamin prosedur kerja yang telah ditetapkan benar-benar dijalankan
dan tujuan yang dikendaki dicapai.
Penggunaan
teknik tersebut di atas ditujukan untuk mempersingkat waktu pengerjaan dengan
memaksa para pekerja menghilangkan “waktu yang tidak produktif”. Itu merupakan
sebuah waktu dan gerak yang telah banyak dilakukan untuk menemukan cara terbaik
dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dibandingkan dengan “rule of thumb”. Perlu juga dikemukakan di sini bahwa teknik
Taylorisme tidak hanya diterapkan di pabrik (production floor), tetapi juga dibagian administrasi (office work) dengan cara memecah
rangkaian pekerjaan (integrated tasks)
menjadi komponen-komponen yang spesifik (specialized
components) untuk dikerjakan oleh masing-masing ahlinya.
2. Teori Kontijensi Struktural
Hakikat
teori kontijensi adalah tidak ada satu cara terbaik yang bisa digunakan dalam
semua keadaan (situasi) lingkungan. Masuknya pengaruh variabel lingkungan dalam
analisis organisasi diawali dengan kemunculan pendekatan sistem (system approach) dalam analisis
organisasi dimana kemunculan pendekatan ini sebenarnya karena inspirasi dari
ilmu biologi, khususnya yang dikemukakan oleh Ludwig von Bertalanffy.
Pendekatan sistem dibangun berdasarkan anggapan bahwa organisasi pada
hakekatnya mirip dengan organisme (makhluk hidup) yang terbuka terhadap
pengaruh lingkungan sekitarnya. Menurut pendekatan ini organisasi adalah sebuah
open system besar yang di dalamnya
terdiri dari beberapa sub-sistem yang saling terkait. Organisme di dalam sistem
semacam itu akan mengambil dan sekaligus memberikan sesuatu dari dan kepada
lingkungannya. Dengan pola simbiose take
and give itulah organisasi mempertahankan hidupnya.
Sama
halnya dengan makhluk hidup, menurut Teori Kontijensi tujuan akhir sebuah
organisasi dalam beroperasi adalah agar bisa bertahan (survive) dan bisa tumbuh (growth)
atau disebut juga keberlangsungan (viability).
Ada dua hal yang dilakukan organisasi untuk menjalankan penyesuaian hidup
terhadap lingkungannya. Pertama, manajemen menata konfigurasi berbagai
sub-sistem di dalam organisasi agar kegiatan organisasi menjadi efisien. Kedua,
bentuk-bentuk spesies organisasi
memiliki efektivitas yang berbeda-beda dalam menghadapi perubahan dalam
lingkungan luar. Dengan kata lain mekanisme sistem pengendalian bisa sangat
bervariasi sesuai dengan variasi lingkungan yang dihadapi. Dalam rangka mencari
cara yang efektif, organisasi seharusnya menghubungkan permintaan lingkungan
eksternal dengan fungsi-fungsi internalnya. Seorang manajer harus bisa mengatur
harmonisasi fungsi-fungsi organisasinya dengan kebutuhan manusia.
Teori
kontijensi memberi penekanan pada perlunya memfokuskan pada perubahan. Tidak
ada satu aturan atau hukum yang memberi solusi terbaik untuk setiap waktu,
tempat, semua orang atau semua situasi. Ada beberapa anggapan dasar dalam teori
kontijensi, yaitu antara lain:
a)
Manajemen pada dasarnya bersifat
situasional. Konsekuensinya teknik-teknik manajemen sangat bergantung pada
situasi yang dihadapi. Jika teknik yang digunakan sesuai dengan permintaan
lingkungan, maka teknik tersebut dikatakan efektif dan berhasil. Dengan kata
lain diversitas dan kompleksitas situasi eksternal yang dihadapi organisasi
harus di pecahkan dengan teknik yang sesuai.
b)
Manajemen harus mengadopsi pendekatan
dan strategi sesuai dengan permintaan setiap situasi yang dihadapi. Kebijakan
dan praktik manajemen yang secara spontan dapat merespon setiap perubahan
lingkungan bisa dikatakan efektif. Untuk mencapai keefektifan ini organisasi
harus mendesain struktur organisasinya, gaya kepemimpinannya, dan sistem
pengendalian yang berorientasi terhadap situasi yang dihadapi.
c)
Ketika keefektifan dan kesuksesan
manajemen dihubungkan secara langsung dengan kemampuannya menghadapi lingkungan
dan setiap perubahan dapat diatasi, maka harus ditingkatkan keterampilan
mendiagnosa yang proaktif untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang
komprehensif.
d)
Manajer yang sukses harus menerima bahwa
tidak ada satu cara terbaik dalam mengelola suatu organisasi. Mereka harus
mempertimbangkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik manajemen yang dapat diaplikasikan
untuk semua waktu dan semua kebutuhan. Tidak ada solusi yang dapat
diaplikasikan secara universal.
3. Teori Ketergantungan Sumber Daya
Teori
Ketergantungan Sumber Daya dibangun berdasarkan asumsi-asumsi di bawah ini:
a)
Organisasi-organisasi dianggap terdiri
dari koalisi internal-eksternal yang muncul dari pertukaran sosial yang
dilakukan untuk mempengaruhi dan mengendalikan perilaku.
b)
Lingkungan dianggap berisi sumber daya
yang langka dan penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan.
c)
Organisasi dianggap bekerja untuk
mencapai dua tujuan yaitu: mendapatkan kendali atas sumber daya bisa
meminimalkan ketergantungannya pada organisasi lain dan meningkatkan kendali
atas sumber daya yang memaksimalkan ketergantungan organisasi lain padanya.
Walaupun
pandangan bahwa organisasi terkendala oleh faktor eksternal sepertinya berpaham
determinisme, menurut Pfeffer dan Salancik organisasi tidaklah pasif dalam
menghadapi kendala eksternal tersebut. Organisasi juga merespon lingkungan
melalui berbagai diskresi manajemen dalam bentuk mempengaruhi organisasi lain,
berkoalisi dengan organisasi lain atau merubah lingkungan. Merger,
diferensiasi, dan lobi pada pemerintah bisa kita anggap sebagai contoh
bagaimana merespon lingkungan.
4. Teori Ekologi Populasi
Teori
Ekologi Populasi membahas perubahan organisasi sebagai fungsi dari
kekuatan-kekuatan lingkungan pada populasi organisasi, khususnya pada proses
pembentukan dan kegagalan organisasi. Pandangan Ekologi Populasi tersebut
menentang pendapat Teori Kontijensi Struktural yang menyatakan bahwa proses
adaptasi dilakukan pada level individu organisasi. Bagi Teori Ekologi Populasi
adaptasi terjadi pada level populasi melalui proses lahir (birth) dan mati (death).
Oleh sebab itu proses adaptasi yang dijalankan oleh organisasi sebetulnya lebih
merupakan proses seleksi alam (Donaldson,2000).
Berikut
ini adalah beberapa konsep yang lazim ditemui dalam tulisan-tulisan mengenai
Teori Ekologi Populasi:
a)
Structural
inertia. Structural
inertia adalah kecenderungan organisasi untuk mempertahankan struktur
internalnya apapun yang terjadi pada fakor lain-lainnya. Jadi sebenarnya konsep
ini merujuk pada ketidakmampuan suatu organisasi untuk beradaptasi dengan
lingkungannya: semakin kuat tekanan structural
inertia, semakin rendah fleksibilitas adaptif organisasi tersebut. Teori structural inertia menyatakan bahwa
proses perubahan akan menciptakan masalah reorganisasi internal dan legimitasi
eksternal (Hannan dan Freeman, 1984).
b)
Liability
of newness. Liability of
newness berunjuk pada kenyataan bahwa risiko mati (bangkrut) organisasi
yang masih baru adalah tinggi dan risiko ini akan menurut sejalan dengan
bertambahnya usia perusahaan (Stinchombe, 1965).
c)
Liability
of smallness. Liability
of smallness merujuk pada kecenderungan menurunnya tingkat kematian (mortality rate) sejalan dengan semakin
besarnya ukuran organisasi. Ada dugaan mengapa hal ini bisa terjadi, yaitu
karena organisasi-organisasi besar umumnya memiliki akuntabilitas, reliabilitas
dan legitimasi yang juga lebih besar.
d)
Niche
width theory. Niche
width theory menyatakan bahwa populasi organisasi menempati niche yang sama dalam arti bahwa mereka
tergantung pada sumber daya lingkungan yang identik. Jika dua populasi
organisasi menempati niche yang sama
tapi berbeda dalam hal karakteristik organisasi, maka populasi yang memiliki
kecocokan yang lebih kecil dengan karakteristik lingkungan akan dieliminasi.
e)
Generalist
population dan specialist
population. Terkait dengan niche
width theory teori Ekologi populasi menyatakan bahwa generalist population tergantung pada rentang niche yang lebar sumber daya lingkungan. Keadaan ini akan
memaksimalkan eksplorasi tetapi akan meningkatkan risiko. Sebaliknya specialist population tergantung pada
kondisi lingkungan yang spesifik atau rentangan niche yang sempit dan hal tersebut akan memungkinkan organisasi di
dalamnya untuk makmur dari pemanfaatan niche
khusus tersebut. Perbedaan karakteristik keluasan rentangan niche ini akan berpengaruh pada strategi
organisasi yang ada di dalamnya.
f)
Density
dependence. Density
dependence menyatakan bahwa legimitasi dan kompetisi bergantung pada
tingkat kepadatan populasi. Pada waktu tingkat kepadatan rendah, proses
legitimasi mendominasi dan hal ini akan meningkatkan tingkat kelahiran dan
menurunkan kematian organisasi. Pada waktu tingkat kepadatan tinggi, kompetisi
akan mendominasi dan hal ini akan menurunkan tingkat kelahiran dan meningkatkan
tingkat kematian organisasi.
Ada
beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam pembahasan-pembahasan. Teori Ekologi
Populasi (Robbins, 1990). Pertama, teori ini memusatkan pada kelompok atau
populasi organisasi, bukan sebuah organisasi. Kedua, teori ini mendefinisikan
efektivitas organisasi semata-mata sebagai survival
(mampu bertahan hidup). Ketiga, lingkungan sangat menentukan dan manajemen
memiliki pengaruh yang kecil terhadap kemampuan organisasi untuk bertahan
hidup. Keempat, kapasitas (daya dukung/carriying
capacity) lingkungan adalah terbatas.
5. Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori
keagenan dibangun sebagai upaya untuk memahami dan memecahkan masalah yang
muncul manakala ada ketidaklengkapan informasi pada saat melakukan kontrak.
Kontrak yang dimaksudkan disini adalah kontrak antara prinsipal (pemberi kerja,
misalnya pemegang saham atau pimpinan perusahaan) dengan agen (penerima
perintah, misalnya manajemen atau bawahan). Teori keagenan meramal jika agen
memiliki keunggulan informasi dibandingkan prinsipal dan kepentingan agen dan
principal berbeda, maka akan terjadi principal-agent
problem dimana agen akan melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya
namun merugikan prinsipal. Beban yang muncul karena tindakan manajemen tersebut
menjadi agency costs.
Pandangan
teori keagenan tersebut pada hakekatnya dibangun dengan memperluas teori yang
dibahas dalam karya-karya Coase, Berle, dan Means. Coase meletakkan landasan
mengapa organisasi diperlukan. Coase mengakui bahwa baik solusi dengan pasar
ataukah dengan organisasi keduanya sama-sama memiliki konsekuensi biaya. Dalam
konteks ini agency costs, adalah
merupakan biaya (transaction cost
atau lebih tepat lagi cost ef governance)
yang terjadi manakala solusi organisasi adalah yang dipilih (untuk
mendistribusikan barang dan jasa dalam masyarakat).
saya copy untuk bahan bacaan ya.
BalasHapussumber tulisan diatas dari buku apa ya?
BalasHapus