Sabtu, 11 Februari 2012

Teori-Teori Belajar


Teori Belajar
1.      Teori Gestalt
Teori ini dikemukakan oleh Koffka dan Kohler dari Jerman. Hukum yang berlaku pada pengamatan adalah sama dengan hukum dalam belajar yaitu:
a)      Gestalt mempunyai sesuatu yang melebihi jumlah unsur-unsurnya.
b)      Gestalt timbul lebih dahulu daripada bagian-bagiannya.
Jadi dalam belajar yang penting adalah adanya penyesuaian pertama yaitu memperoleh respon yang tepat untuk memecahkan problem yang dihadapi. Belajar yang penting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Sifat-sifat belajar dengan insight ialah:
a)      Belajar berdasarkan keseluruhan. Orang berusaha menghubungkan suatu pelajaran dengan pelajaran yang lain sebanyak mungkin. Mata pelajaran yang bulat lebih mudah dimengerti daripada bagian-bagiannya.
b)      Belajar adalah suatu proses perkembangan. Anak-anak baru dapat mempelajari dan merencanakan bila ia telah matang untuk menerima bahan pelajaran itu. Manusia sebagai suatu organisme yang berkembang, kesediaan mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan jiwa batiniah, tetapi juga perkembangan dari lingkungan dan pengalaman.
c)      Siswa sebagai organisme keseluruhan. Siswa tidak hanya belajar inteleknya saja, tetapi juga emosional dan jasmaniahnya. Dalam pengajaran modern, guru disamping mengajar juga mendidik untuk membentuk kepribadian siswa.
d)     Terjadi transfer. Belajar pada pokoknya yang terpenting pada penyesuaian pertama ialah memperoleh respon yang tepat. Mudah atau sukarnya problem itu terutama adalah masalah pengamatan, bila dalam suatu kemampuan telah dikuasai betul-betul maka dapat dipindahkan untuk kemampuan yang lain.
e)      Belajar adalah reorganisasi pengalaman. Pengalaman adalah suatu interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Anak kena api – kejadian ini menjadi pengalaman bagi anak. Belajar itu baru timbul bila seseorang menemui suatu situasi/soal baru. Dalam menghadapi itu ia akan menggunakan segala pengalaman yang telah dimiliki. Siswa mengadakan analisis reorganisasi pengalaman.
f)       Belajar harus dengan insight. Insight adalah suatu saat dalam proses belajar dimana seseorang melihat pengertian tentang sangkut-paut dan hubungan-hubungan tertentu dalam unsur yang mengandung suatu problem.
g)      Belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan dan tujuan siswa. Hal itu terjadi bila banyak berhubungan dengan apa yang diperlukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Di sekolah progresif, siswa diajak membicarakan tentang proyek/unit agar tahu tujuan yang akan dicapai dan yakin akan manfaatnya.
h)      Belajar berlangsung terus-menerus. Siswa memperoleh pengetahuan tak hanya di sekolah tetapi juga di luar sekolah, dalam pergaulan; memperoleh pengalam sendiri-sendiri, karena itu sekolah harus bekerja sama dengan orang tua di rumah dan masyarakat, agar semua turut serta membantu perkembangan siswa secara harmonis.
2.      Teori Belajar Menurut J. Bruner
Kata Bruner belajar tidak untuk mengubah tingkah laku seseorang tetapi untuk mengubah kurikulum sekolah menjadi sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar lebih banyak dan mudah.
Sebab itu Bruner mempunyai pendapat, alangkah baiknya bila sekolah dapat menyediakan kesempatan bagi siswa untuk maju dengan cepat sesuai dengan kemampuan siswa dalam mata pelajaran tertentu. Di dalam proses belajar Bruner mementingkan partisipasi aktif siswa dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk meningkatkan proses belajar perlu lingkungan yang dinamakan “discovery learning environment”, ialah lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Dalam tiap lingkungan selalu ada bermacam-macam masalah, hubungan-hubungan dan dambatan yang dihayati oleh siswa secara berbeda-beda pada usia yang berbeda pula. Dalam lingkungan banyak hal yang dapat dipelajari siswa, hal mana dapat digolongkan menjadi:
a)      Enaktif, seperti belajar naik sepeda, yang harus didahului dengan bermacam-macam keterampilan motorik.
b)      Iconic, seperti mengenal jalan yang menuju ke pasar, mengingat dimana bukunya yang penting diletakkan.
c)      Symbolic, seperti menggunakan kata-kata, menggunakan formula.
Dalam belajar guru perlu memperhatikan empat hal berikut ini:
1.      Mengusahakan agar setiap siswa berpartisipasi aktif, minatnya perlu ditingkatkan, kemudian perlu dibimbing untuk mencapai tujuan tertentu.
2.      Manganalisis struktur materi yang akan diajarkan dan juga perlu disajikan secara sederhana sehingga mudah dimengerti oleh siswa.
3.      Menganalisis sequence. Guru mengajar, berarti membimbing siswa melalui urutan pernyataan-pernyataan dari suatu masalah, sehingga siswa memperoleh pengertian dan dapat mentransfer apa yang sedang dipelajari.
4.      Member reinforcement dan umpan balik (feed-back). Penguatan yang optimal terjadi pada waktu siswa mengetahui bahwa “ia menemukan jawabnya”.  
3.      Teori Belajar dari Piaget
Pendapat Piaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah sebagai berikut:
1.      Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai cara yang khusus untuk menyatakan kenyataan dan untuk menghayati dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar.
2.      Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu menurut suatu urutan yang sama bagi semua anak.
3.      Walaupun berlangsungnya tahap-yahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.
4.      Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu:
a)      Kemasakan
b)      Pengalaman
c)      Interaksi sosial
d)     Equilibration (proses dari ketiga faktor di atas bersama-sama untuk membangun dan memperbaiki struktur mental)
5.      Ada tiga tahap perkembangan, yaitu:
a)      Berpikir secara intuitif ± 4 tahun
b)      Beroperasi secara konkret ± 7 tahun
c)      Beroperasi secara formal ± 11 tahun
Perlu diketahui pula bahwa perkembangan intelektual terjadi proses yang sederhana seperti melihat, menyentuh, menyebut nama benda dan sebagainya dan adaptasi yaitu suatu rangkaian perubahan yang terjadi pada tiap individu sebagai hasil interaksi dengan dunia disekitarnya.
4.      Teori Belajar dari R. Gagne
Terhadap masalah belajar, Gagne memberikan dua definisi, yaitu:
a)      Belajar ialah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkah laku;
b)      Belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi.
Mulai masa bayi manusia mengadakan interaksi dengan lingkungan, tetapi baru dalam bentuk “sensori-motor coordination”. Kemudian ia belajar berbicara dan menggunakan bahasa. Kesanggupan untuk menggunakan bahasa ini penting artinya untuk belajar.
Tugas pertama yang dilakukan anak ialah meneruskan “sosialisasi” dengan anak lain atau orang dewasa tanpa pertentangan bahkan untuk membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan keramahan dan konsiderasi pada anak itu.
Tugas kedua ialah belajar menggunakan simbol-simbol yang menyatakan keadaan sekelilingnya, seperti: gambar, huruf, angka, diagram dan sebagainya. Ini adalah tugas intelaktual (membaca, menulis, berhitung dan sebagainya). Bila anak sekolah sudah dapat melakukan tugas ini, berarti dia sudah mampu belajar banyak hal dari yang mudah sampai yang amat kompleks.
Gagne mengatakan pula bahwa segala sesuatu yang dipelajari oleh manusia dapat dibagi menjadi lima kategori, yang disebut “the domains of learning” yaitu:
a)      Keterampilan motoris (motor skill). Dalam hal ini perlu koordinasi dari berbagai gerakan badan misalnya, melempar bola, main tenis, mengemudi mobil dan lain sebagainya.
b)      Informasi verbal. Orang dapat menjelaskan sesuatu dengan berbicara, menulis, menggambar; dalam hal ini dapat dimengerti bahwa untuk mengatakan sesuatu ini perlu intelegensi.
c)      Kamampuan intelektual. Manusia mengadakan interaksi dengan dunia luar dengan menggunakan simbol-simbol. Kemampuan belajar cara inilah yang disebut “kemampuan intelektual”, misalnya membedakan huruf m dan n, menyebut tanaman yang sejenis dan lain sebagainya.
d)     Strategi kognitif. Ini merupakan organisasi keterampilan yang internal (internal organized skill) yang perlu untuk belajar mengingat dan berpikir. Kemampuan ini berbeda dengan kemampuan intelektual, karena ditujukan ke duia luar dan tidak dapat dipalajari hanya dengan berbuat satu kali serta memerlukan perbaikan-perbaikan secara terus-menerus.
e)      Sikap. Kemampuan ini tidak dapat dipelajari dengan ulangan-ulangan, tidak tergantung atau dipengaruhi oleh hubungan verbal seperti halnya domain yang lain. Sikap ini penting dalam proses belajar, tanpa kemampuan ini belajar tak akan berhasil dengan baik.
5.      Teori Konektionisme
Menurut Thorndike, dasar dari belajar itu adalah asosiasi antara kesan panca indra (sense impression) dengan impuls untuk bertindak (impuls to action). Asosiasi yang demikian ini dinamakan “connecting”. Dengan kata lain, belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, antara aksi dan reaksi. Antara stimulus dan respons ini akan terjadi suatu hubungan yang erat kalau sering dilatih. Berkat latihan yang terus-menerus, hubungan antara stimulus dan respons itu akan menjadi terbiasa secara otomatis.
Mengenai hubungan stimulus dan respons tersebut, Thorndike mengemukakan beberapa prinsip atau hukum diantaranya sebagai berikut:
1.      Law of effect. Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat kalau disertai dengan perasaan senang atau puas, dan sebaliknya kurang erat atau bahkan bisa lenyap kalau disertai dengan perasaan tidak senang. Karena itu adanya usaha membesarkan hati, memuji dan kegiatan reinforcement sangat diperlukan dalam kegiatan belajar. Hal ini akan lebih baik, sedang hal-hal yang bersifat menghukum akan kurang mendukung.
2.      Law of multiple serponse. Dalam situasi problematis, kemungkinan besar respons yang tepat itu tidak segera tampak, sehingga individu yang belajar harus berulang kali mengadakan percobaan sampai respons itu muncul dengan tepat. Prosedur inilah yang dalam belajar lazim disebutnya dengan istilah trial and error. Tetapi kalau dikaji secara teliti, di dalam manusia menghadapi problema, alternatif-alternatif pemecahannya biasa dipilih, dikira-kira mana yang lebih tepat dan sesuai untuk menghasilkan pemecahan yang mengarah pada pencapaian tujuan. Jadi tidak sekadar coba-coba seperti pada binatang (pada awal percobaan Thorndike dengan kucing). Oleh karena itu, istilah trial and error, lebih baik disebut dengan “discovering the right path to the objektive”.
3.      Law of exercise atau law of use and disuse. Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat kalau sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika jarang atau tidak pernah digunakan. Oleh karena itu perlu banyak latihan, ulangan dan pembiasaan.
4.      Law of assimilation atau law of analogy. Seseorang dapat menyesuaikan diri atau member respons yang sesuai dengan situasi sebelumnya.
Hukum-hukum yang dikemukakan Thorndike banyak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik disekolah maupun diluar sekolah. Namun perlu diingat bahwa teori Konektionisme dengan hukum-hukumnya diterapkan dalam kegiatan belajar sebenarnya ada beberapa keberatan. Keberatan-keberatan dari teori ini antara lain:
a)      Belajar menurut teori ini bersifat mekanistis. Apabila stimulus, dengan sendirinya tau secara mekanis timbul respons. Latihan-latihan ujian, bahkan ulangan dan ujian para subjek didik banyak yang berdasarkan hal-hal semacam ini.
b)      Pelajaran bersifat teacher centered. Dalam hal ini guru aktif melatih dan menentukan apa yang harus diketahui subjek didik/siswa (guru member stimulus).
c)      Subjek didik/siswa menjadi pasif, kurang terdorong untuk berpikir dan juga tidak ikut menentukan bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Siswa belajar menunggu datangnya stimulus dari guru.
d)     Teori ini lebih mengutamakan materi, yakni hanya memupuk pengetahuan yang diterima dari guru dan cenderung intelektualisitis.
6.      Teori Conditioning
Teori ini dikemukakan oleh Pavlov dengan mengadakan sebuah percobaan terhadap seekor anjing. Tiap kali anjing itu diberi makan, lampu dinyalakan. Karena melihat makanan, air liurnya keluar. Begitu seterusnya hal itu dilakukan berkali-kali dan sering diulangi, sehingga menjadi kebiasaan, maka pada suatu ketika lampu dinyalakan tetapi tidak diberi makanan, air liur anjing pun keluar.
Dalam praktik kehidupan sehari-hari pola seperti itu banyak terjadi. Seseorang akan melakukan sesuatu tanda. Misalnya anak sekolah mendengar lonceng, kemudian berkumpul, tentara akan mengerjakan atau melakukan segala sesuatu gerakan aba-aba dari komandannya, permainan sepakbola itu akan berhenti kalau mendengar peluit.
Teori ini kalau diterapkan dalam kegiatan belajar juga banyak kelemahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara lain:
1.      Percobaan dalam laboratorium, berbeda dengan keadaan sebenarnya.
2.      Pribadi seseorang (cita-cita, kesanggupan, minat, emosi dan sebagainya) dapat memengaruhi hasil eksperimen.
3.      Respons mungkin dipengaruhi oleh stimulus yang tak dikenal. Dengan kata lain, tidak dapat diramalakan lebih dulu, stimulus manakah yang menarik perhatian seseorang.
4.      Teori ini sangat sederhana dan tidak memuaskan untuk menjelaskan segala seluk beluk belajar yang ternyata sangat kompleks itu.
Dari berbagai teori yang sudah dijelaskan sebelumnya terdapat beberapa persamaannya. Persamaan itu antara lain mengakui adanya prinsip-prinsip berikut ini:
1.      Dalam kegiatan belajar, motivasi merupakan faktor yang sangat penting.
2.      Dalam kegiatan belajar selalu ada halangan/kesulitan.
3.      Dalam belajar memerlukan aktivitas.
4.      Dalam menghadapi kesulitan, sering terdapat kemungkinan bermacam-macam respons.
7.      Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat yang menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Von Glasersfeld menegaskan bahwa pngetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan. Pengetahuan bukan gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Tetapi pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Secara sederhana konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan kita merupakan konstruksi dari kita yang mengetahui sesuatu. Pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya.
Menurut pandangan dan teori konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif dari si subjek belajar untuk merekonstruksi makna, sesuatu entah itu teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik dan lain-lain. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertiannya menjadi berkembang.
Sehubungan dengan itu, ada beberapa ciri atau prinsip dalam belajar yang dijelaskan sebagai berikut:
a)      Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami.
b)      Konstruksi makna adalah proses yang terus menerus.
c)      Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, tetapi perkembangan itu sendiri.
d)     Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
e)      Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui, si subjek belajar, tujuan, motivasi yang memengaruhi proses interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Jadi menurut teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif dimana si subjek belajar membangun sendiri pengetahuannya. Subjek belajar juga mencari sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari.
a)      Prestasi Belajar
Istilah prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie, kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha. Menurut Muhibbin Syah “prestasi adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program (2010: 141)”. Sumadi Suryabrata mengemukakan bahwa “prestasi belajar adalah nilai yang merupakan perumusan terakhir yang dapat diberikan oleh guru mengenai kemajuan/prestasi belajar selama masa tertentu (2007: 297)”. Pendapat senada juga diungkapkan oleh James P. Chaplin (2002: 5) bahwa “prestasi belajar merupakan hasil belajar yang telah dicapai atau hasil keahlian dalam karya akademis yang dinilai oleh guru/dosen, lewat tes-tes yang dilakukan atau lewat kombinasi kedua hal tersebut”. Hal ini misalnya prestasi belajar mahasiswa selama satu semester yang diukur dengan nilai beberapa mata kuliah yang harus ditempuh selama satu semester tersebut, jika mahasiswa bisa mengumpulkan nilai yang tinggi dalam masing-masing mata kuliah dan mengumpulkan jumlah yang tinggi atau lebih dari yang lain berarti mahasiswa tersebut mempunyai prestasi belajar yang tinggi.
W.S Winkel (2004: 162) mengemukakan bahwa “prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai bobot yang dicapai”. Sejalan dengan pendapat tersebut Nana Sudjana (2006: 3) mengemukakan bahwa “prestasi belajar merupakan hasil-hasil belajar yang dicapai oleh siswa dengan kriteria-kriteria tertentu”. Sementara Nasution S. (2000: 162) berpendapat bahwa “prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat”. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, afektif, dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi belajar kurang memuaskan jika seorang belum mampu memenuhi target ketiga kriteria tersebut”.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak, dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai setelah mengala mi proses belajar. Prestasi dapat diketahui apabila seseorang telah melalui tahap evaluasi. Dari hasil evaluasi tersebut dapat memperlihatkan tentang tinggi rendahnya prestasi yang diperoleh oleh seseorang.
Muhibbin Syah (2010: 149) berpendapat bahwa prestasi belajar pada dasarnya merupakan hasil belajar atau hasil penilaian yang menyeluruh, dengan meliputi:
1.      Prestasi belajar dalam bentuk kemampuan pengetahuan dan pengertian. Hal ini juga meliputi: ingatan, pemahaman, penegasan, sintesis, analisis dan evaluasi.
2.      Prestasi belajar dalam bentuk keterampilan intelektual dan keterampilan sosial.
3.      Prestasi belajar dalam bentuk sikap atau nilai.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa prstasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh seorang pelajar/siswa yang mencakup aspek ranak kognitif, afektif dan psikomotor yang ditunjukkan dengan nilai yang diberikan dosen setelah melalui kegiatan belajar selama periode tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar