Teori
Belajar
1. Teori Gestalt
Teori
ini dikemukakan oleh Koffka dan Kohler dari Jerman. Hukum yang berlaku pada
pengamatan adalah sama dengan hukum dalam belajar yaitu:
a)
Gestalt mempunyai sesuatu yang melebihi
jumlah unsur-unsurnya.
b)
Gestalt timbul lebih dahulu daripada
bagian-bagiannya.
Jadi
dalam belajar yang penting adalah adanya penyesuaian pertama yaitu memperoleh
respon yang tepat untuk memecahkan problem yang dihadapi. Belajar yang penting
bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh
insight. Sifat-sifat belajar dengan insight ialah:
a)
Belajar berdasarkan keseluruhan. Orang
berusaha menghubungkan suatu pelajaran dengan pelajaran yang lain sebanyak
mungkin. Mata pelajaran yang bulat lebih mudah dimengerti daripada
bagian-bagiannya.
b)
Belajar adalah suatu proses
perkembangan. Anak-anak baru dapat mempelajari dan merencanakan bila ia telah
matang untuk menerima bahan pelajaran itu. Manusia sebagai suatu organisme yang
berkembang, kesediaan mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh
kematangan jiwa batiniah, tetapi juga perkembangan dari lingkungan dan
pengalaman.
c)
Siswa sebagai organisme keseluruhan.
Siswa tidak hanya belajar inteleknya saja, tetapi juga emosional dan
jasmaniahnya. Dalam pengajaran modern, guru disamping mengajar juga mendidik untuk
membentuk kepribadian siswa.
d)
Terjadi transfer. Belajar pada pokoknya
yang terpenting pada penyesuaian pertama ialah memperoleh respon yang tepat.
Mudah atau sukarnya problem itu terutama adalah masalah pengamatan, bila dalam
suatu kemampuan telah dikuasai betul-betul maka dapat dipindahkan untuk
kemampuan yang lain.
e)
Belajar adalah reorganisasi pengalaman.
Pengalaman adalah suatu interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Anak
kena api – kejadian ini menjadi pengalaman bagi anak. Belajar itu baru timbul
bila seseorang menemui suatu situasi/soal baru. Dalam menghadapi itu ia akan
menggunakan segala pengalaman yang telah dimiliki. Siswa mengadakan analisis
reorganisasi pengalaman.
f)
Belajar harus dengan insight. Insight adalah suatu saat dalam proses belajar dimana seseorang
melihat pengertian tentang sangkut-paut dan hubungan-hubungan tertentu dalam
unsur yang mengandung suatu problem.
g)
Belajar lebih berhasil bila berhubungan
dengan minat, keinginan dan tujuan siswa. Hal itu terjadi bila banyak
berhubungan dengan apa yang diperlukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Di
sekolah progresif, siswa diajak membicarakan tentang proyek/unit agar tahu
tujuan yang akan dicapai dan yakin akan manfaatnya.
h)
Belajar berlangsung terus-menerus. Siswa
memperoleh pengetahuan tak hanya di sekolah tetapi juga di luar sekolah, dalam
pergaulan; memperoleh pengalam sendiri-sendiri, karena itu sekolah harus
bekerja sama dengan orang tua di rumah dan masyarakat, agar semua turut serta
membantu perkembangan siswa secara harmonis.
2. Teori Belajar Menurut J. Bruner
Kata
Bruner belajar tidak untuk mengubah tingkah laku seseorang tetapi untuk
mengubah kurikulum sekolah menjadi sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar
lebih banyak dan mudah.
Sebab
itu Bruner mempunyai pendapat, alangkah baiknya bila sekolah dapat menyediakan
kesempatan bagi siswa untuk maju dengan cepat sesuai dengan kemampuan siswa
dalam mata pelajaran tertentu. Di dalam proses belajar Bruner mementingkan
partisipasi aktif siswa dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan.
Untuk meningkatkan proses belajar perlu lingkungan yang dinamakan “discovery learning environment”, ialah
lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang
belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Dalam
tiap lingkungan selalu ada bermacam-macam masalah, hubungan-hubungan dan
dambatan yang dihayati oleh siswa secara berbeda-beda pada usia yang berbeda
pula. Dalam lingkungan banyak hal yang dapat dipelajari siswa, hal mana dapat
digolongkan menjadi:
a)
Enaktif,
seperti belajar naik sepeda, yang harus didahului dengan bermacam-macam
keterampilan motorik.
b)
Iconic,
seperti mengenal jalan yang menuju ke pasar, mengingat dimana bukunya yang
penting diletakkan.
c)
Symbolic,
seperti menggunakan kata-kata, menggunakan formula.
Dalam
belajar guru perlu memperhatikan empat hal berikut ini:
1.
Mengusahakan agar setiap siswa
berpartisipasi aktif, minatnya perlu ditingkatkan, kemudian perlu dibimbing
untuk mencapai tujuan tertentu.
2.
Manganalisis struktur materi yang akan
diajarkan dan juga perlu disajikan secara sederhana sehingga mudah dimengerti
oleh siswa.
3.
Menganalisis sequence. Guru mengajar, berarti membimbing siswa melalui urutan
pernyataan-pernyataan dari suatu masalah, sehingga siswa memperoleh pengertian
dan dapat mentransfer apa yang sedang dipelajari.
4.
Member reinforcement dan umpan balik (feed-back). Penguatan yang optimal terjadi
pada waktu siswa mengetahui bahwa “ia menemukan jawabnya”.
3. Teori Belajar dari Piaget
Pendapat
Piaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah sebagai
berikut:
1.
Anak mempunyai struktur mental yang
berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk
kecil, mereka mempunyai cara yang khusus untuk menyatakan kenyataan dan untuk
menghayati dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam
belajar.
2.
Perkembangan mental pada anak melalui
tahap-tahap tertentu menurut suatu urutan yang sama bagi semua anak.
3.
Walaupun berlangsungnya tahap-yahap
perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk
berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap
anak.
4.
Perkembangan mental anak dipengaruhi
oleh empat faktor, yaitu:
a)
Kemasakan
b)
Pengalaman
c)
Interaksi sosial
d)
Equilibration
(proses dari ketiga faktor di atas bersama-sama untuk membangun dan memperbaiki
struktur mental)
5.
Ada tiga tahap perkembangan, yaitu:
a)
Berpikir secara intuitif ± 4 tahun
b)
Beroperasi secara konkret ± 7 tahun
c)
Beroperasi secara formal ± 11 tahun
Perlu
diketahui pula bahwa perkembangan intelektual terjadi proses yang sederhana
seperti melihat, menyentuh, menyebut nama benda dan sebagainya dan adaptasi
yaitu suatu rangkaian perubahan yang terjadi pada tiap individu sebagai hasil
interaksi dengan dunia disekitarnya.
4. Teori Belajar dari R. Gagne
Terhadap
masalah belajar, Gagne memberikan dua definisi, yaitu:
a)
Belajar ialah suatu proses untuk
memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkah
laku;
b)
Belajar adalah penguasaan pengetahuan
atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi.
Mulai
masa bayi manusia mengadakan interaksi dengan lingkungan, tetapi baru dalam
bentuk “sensori-motor coordination”.
Kemudian ia belajar berbicara dan menggunakan bahasa. Kesanggupan untuk menggunakan
bahasa ini penting artinya untuk belajar.
Tugas
pertama yang dilakukan anak ialah meneruskan “sosialisasi” dengan anak lain
atau orang dewasa tanpa pertentangan bahkan untuk membantu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan keramahan dan konsiderasi pada anak itu.
Tugas
kedua ialah belajar menggunakan simbol-simbol yang menyatakan keadaan
sekelilingnya, seperti: gambar, huruf, angka, diagram dan sebagainya. Ini
adalah tugas intelaktual (membaca, menulis, berhitung dan sebagainya). Bila
anak sekolah sudah dapat melakukan tugas ini, berarti dia sudah mampu belajar
banyak hal dari yang mudah sampai yang amat kompleks.
Gagne
mengatakan pula bahwa segala sesuatu yang dipelajari oleh manusia dapat dibagi
menjadi lima kategori, yang disebut “the
domains of learning” yaitu:
a)
Keterampilan motoris (motor skill). Dalam hal ini perlu
koordinasi dari berbagai gerakan badan misalnya, melempar bola, main tenis,
mengemudi mobil dan lain sebagainya.
b)
Informasi verbal. Orang dapat
menjelaskan sesuatu dengan berbicara, menulis, menggambar; dalam hal ini dapat
dimengerti bahwa untuk mengatakan sesuatu ini perlu intelegensi.
c)
Kamampuan intelektual. Manusia
mengadakan interaksi dengan dunia luar dengan menggunakan simbol-simbol.
Kemampuan belajar cara inilah yang disebut “kemampuan intelektual”, misalnya
membedakan huruf m dan n, menyebut tanaman yang sejenis dan lain sebagainya.
d)
Strategi kognitif. Ini merupakan
organisasi keterampilan yang internal (internal
organized skill) yang perlu untuk belajar mengingat dan berpikir. Kemampuan
ini berbeda dengan kemampuan intelektual, karena ditujukan ke duia luar dan
tidak dapat dipalajari hanya dengan berbuat satu kali serta memerlukan
perbaikan-perbaikan secara terus-menerus.
e)
Sikap. Kemampuan ini tidak dapat
dipelajari dengan ulangan-ulangan, tidak tergantung atau dipengaruhi oleh
hubungan verbal seperti halnya domain
yang lain. Sikap ini penting dalam proses belajar, tanpa kemampuan ini belajar
tak akan berhasil dengan baik.
5. Teori Konektionisme
Menurut
Thorndike, dasar dari belajar itu adalah asosiasi antara kesan panca indra (sense impression) dengan impuls untuk bertindak (impuls to action). Asosiasi yang
demikian ini dinamakan “connecting”.
Dengan kata lain, belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan
respon, antara aksi dan reaksi. Antara stimulus dan respons ini akan terjadi
suatu hubungan yang erat kalau sering dilatih. Berkat latihan yang
terus-menerus, hubungan antara stimulus dan respons itu akan menjadi terbiasa
secara otomatis.
Mengenai
hubungan stimulus dan respons tersebut, Thorndike mengemukakan beberapa prinsip
atau hukum diantaranya sebagai berikut:
1.
Law
of effect. Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat kalau
disertai dengan perasaan senang atau puas, dan sebaliknya kurang erat atau
bahkan bisa lenyap kalau disertai dengan perasaan tidak senang. Karena itu
adanya usaha membesarkan hati, memuji dan kegiatan reinforcement sangat diperlukan dalam kegiatan belajar. Hal ini
akan lebih baik, sedang hal-hal yang bersifat menghukum akan kurang mendukung.
2.
Law
of multiple serponse. Dalam situasi problematis, kemungkinan
besar respons yang tepat itu tidak segera tampak, sehingga individu yang
belajar harus berulang kali mengadakan percobaan sampai respons itu muncul
dengan tepat. Prosedur inilah yang dalam belajar lazim disebutnya dengan
istilah trial and error. Tetapi kalau
dikaji secara teliti, di dalam manusia menghadapi problema,
alternatif-alternatif pemecahannya biasa dipilih, dikira-kira mana yang lebih
tepat dan sesuai untuk menghasilkan pemecahan yang mengarah pada pencapaian
tujuan. Jadi tidak sekadar coba-coba seperti pada binatang (pada awal percobaan
Thorndike dengan kucing). Oleh karena itu, istilah trial and error, lebih baik disebut dengan “discovering the right path to the objektive”.
3.
Law
of exercise atau law of use and disuse. Hubungan stimulus dan
respons akan bertambah erat kalau sering dipakai dan akan berkurang bahkan
lenyap jika jarang atau tidak pernah digunakan. Oleh karena itu perlu banyak
latihan, ulangan dan pembiasaan.
4.
Law
of assimilation atau law of analogy. Seseorang dapat
menyesuaikan diri atau member respons yang sesuai dengan situasi sebelumnya.
Hukum-hukum
yang dikemukakan Thorndike banyak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik
disekolah maupun diluar sekolah. Namun perlu diingat bahwa teori Konektionisme
dengan hukum-hukumnya diterapkan dalam kegiatan belajar sebenarnya ada beberapa
keberatan. Keberatan-keberatan dari teori ini antara lain:
a)
Belajar menurut teori ini bersifat
mekanistis. Apabila stimulus, dengan sendirinya tau secara mekanis timbul
respons. Latihan-latihan ujian, bahkan ulangan dan ujian para subjek didik
banyak yang berdasarkan hal-hal semacam ini.
b)
Pelajaran bersifat teacher centered. Dalam
hal ini guru aktif melatih dan menentukan apa yang harus diketahui subjek
didik/siswa (guru member stimulus).
c)
Subjek didik/siswa menjadi pasif, kurang
terdorong untuk berpikir dan juga tidak ikut menentukan bahan pelajaran sesuai
dengan kebutuhannya. Siswa belajar menunggu datangnya stimulus dari guru.
d)
Teori ini lebih mengutamakan materi,
yakni hanya memupuk pengetahuan yang diterima dari guru dan cenderung
intelektualisitis.
6. Teori Conditioning
Teori
ini dikemukakan oleh Pavlov dengan mengadakan sebuah percobaan terhadap seekor
anjing. Tiap kali anjing itu diberi makan, lampu dinyalakan. Karena melihat
makanan, air liurnya keluar. Begitu seterusnya hal itu dilakukan berkali-kali
dan sering diulangi, sehingga menjadi kebiasaan, maka pada suatu ketika lampu
dinyalakan tetapi tidak diberi makanan, air liur anjing pun keluar.
Dalam
praktik kehidupan sehari-hari pola seperti itu banyak terjadi. Seseorang akan
melakukan sesuatu tanda. Misalnya anak sekolah mendengar lonceng, kemudian
berkumpul, tentara akan mengerjakan atau melakukan segala sesuatu gerakan
aba-aba dari komandannya, permainan sepakbola itu akan berhenti kalau mendengar
peluit.
Teori
ini kalau diterapkan dalam kegiatan belajar juga banyak kelemahannya.
Kelemahan-kelemahan itu antara lain:
1.
Percobaan dalam laboratorium, berbeda
dengan keadaan sebenarnya.
2.
Pribadi seseorang (cita-cita,
kesanggupan, minat, emosi dan sebagainya) dapat memengaruhi hasil eksperimen.
3.
Respons mungkin dipengaruhi oleh
stimulus yang tak dikenal. Dengan kata lain, tidak dapat diramalakan lebih
dulu, stimulus manakah yang menarik perhatian seseorang.
4.
Teori ini sangat sederhana dan tidak
memuaskan untuk menjelaskan segala seluk beluk belajar yang ternyata sangat
kompleks itu.
Dari
berbagai teori yang sudah dijelaskan sebelumnya terdapat beberapa persamaannya.
Persamaan itu antara lain mengakui adanya prinsip-prinsip berikut ini:
1.
Dalam kegiatan belajar, motivasi
merupakan faktor yang sangat penting.
2.
Dalam kegiatan belajar selalu ada
halangan/kesulitan.
3.
Dalam belajar memerlukan aktivitas.
4.
Dalam menghadapi kesulitan, sering
terdapat kemungkinan bermacam-macam respons.
7. Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme
adalah salah satu filsafat yang menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah
konstruksi (bentukan) kita sendiri. Von Glasersfeld menegaskan bahwa pngetahuan
bukanlah suatu tiruan dari kenyataan. Pengetahuan bukan gambaran dari dunia
kenyataan yang ada. Tetapi pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu
konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Secara
sederhana konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan kita merupakan
konstruksi dari kita yang mengetahui sesuatu. Pengetahuan itu bukanlah suatu
fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang diciptakan orang
yang sedang mempelajarinya.
Menurut
pandangan dan teori konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif dari si
subjek belajar untuk merekonstruksi makna, sesuatu entah itu teks, kegiatan
dialog, pengalaman fisik dan lain-lain. Belajar merupakan proses
mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajarinya
dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertiannya menjadi
berkembang.
Sehubungan
dengan itu, ada beberapa ciri atau prinsip dalam belajar yang dijelaskan
sebagai berikut:
a)
Belajar berarti mencari makna. Makna
diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami.
b)
Konstruksi makna adalah proses yang
terus menerus.
c)
Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan
fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang
baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, tetapi perkembangan itu sendiri.
d)
Hasil belajar dipengaruhi oleh
pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
e)
Hasil belajar seseorang tergantung pada
apa yang telah diketahui, si subjek belajar, tujuan, motivasi yang memengaruhi
proses interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Jadi
menurut teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif dimana si
subjek belajar membangun sendiri pengetahuannya. Subjek belajar juga mencari
sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari.
a) Prestasi Belajar
Istilah prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie, kemudian dalam bahasa
Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha. Menurut Muhibbin Syah
“prestasi adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam sebuah program (2010: 141)”. Sumadi Suryabrata mengemukakan
bahwa “prestasi belajar adalah nilai yang merupakan perumusan terakhir yang
dapat diberikan oleh guru mengenai kemajuan/prestasi belajar selama masa
tertentu (2007: 297)”. Pendapat senada juga diungkapkan oleh James P. Chaplin
(2002: 5) bahwa “prestasi belajar merupakan hasil belajar yang telah dicapai
atau hasil keahlian dalam karya akademis yang dinilai oleh guru/dosen, lewat
tes-tes yang dilakukan atau lewat kombinasi kedua hal tersebut”. Hal ini
misalnya prestasi belajar mahasiswa selama satu semester yang diukur dengan
nilai beberapa mata kuliah yang harus ditempuh selama satu semester tersebut,
jika mahasiswa bisa mengumpulkan nilai yang tinggi dalam masing-masing mata
kuliah dan mengumpulkan jumlah yang tinggi atau lebih dari yang lain berarti
mahasiswa tersebut mempunyai prestasi belajar yang tinggi.
W.S Winkel (2004: 162) mengemukakan bahwa “prestasi
belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa
dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai bobot yang dicapai”. Sejalan dengan
pendapat tersebut Nana Sudjana (2006: 3) mengemukakan bahwa “prestasi belajar
merupakan hasil-hasil belajar yang dicapai oleh siswa dengan kriteria-kriteria
tertentu”. Sementara Nasution S. (2000: 162) berpendapat bahwa “prestasi
belajar adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan
berbuat”. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek
yakni: kognitif, afektif, dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi belajar
kurang memuaskan jika seorang belum mampu memenuhi target ketiga kriteria
tersebut”.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat
dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki
siswa dalam menerima, menolak, dan menilai informasi-informasi yang diperoleh
dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat
keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam
bentuk nilai setelah mengala mi proses belajar. Prestasi dapat diketahui
apabila seseorang telah melalui tahap evaluasi. Dari hasil evaluasi tersebut
dapat memperlihatkan tentang tinggi rendahnya prestasi yang diperoleh oleh
seseorang.
Muhibbin Syah (2010: 149) berpendapat bahwa prestasi
belajar pada dasarnya merupakan hasil belajar atau hasil penilaian yang
menyeluruh, dengan meliputi:
1.
Prestasi belajar dalam bentuk kemampuan
pengetahuan dan pengertian. Hal ini juga meliputi: ingatan, pemahaman,
penegasan, sintesis, analisis dan evaluasi.
2.
Prestasi belajar dalam bentuk
keterampilan intelektual dan keterampilan sosial.
3.
Prestasi belajar dalam bentuk sikap atau
nilai.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa prstasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh seorang
pelajar/siswa yang mencakup aspek ranak kognitif, afektif dan psikomotor yang
ditunjukkan dengan nilai yang diberikan dosen setelah melalui kegiatan belajar
selama periode tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar