Selasa, 20 Desember 2016

Multi akad



A.    Definisi Multi Akad
Multi dalam bahasa Indonesia berarti (1) banyak; lebih dari satu; lebih dari dua; (2) berlipat ganda. Dengan demikian, multi akad dalam bahasa Indonesia berarti akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari satu.
Sedangkan menurut istilah fikih, kata multi akad merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-’uqûd  al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-’uqûd al-murakkabah terdiri dari dua kata al-’uqûd (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Kata ‘aqd secara etimologi artinya mengokohkan, meratifikasi dan mengadakan perjanjian. Sedangkan secara terminologi ‘aqd berarti mengadakan perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan munculnya kewajiban.
Buku-buku  teks fikih muamalah kontemporer,  menyebut istilah hybrid contract dengan  istilah yang beragam,  seperti al-’uqûd  al-murakkabah, al-’uqûd  al-muta’addidah , al-’uqûd al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah,  dan al-’uqud al-mukhtalitah, namun istilah yang paling populer ada dua macam, yaitu al-uqud al-murakkabah dan al-uqud al mujtami’ah.
Al-“Imrani dalam buku Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah mendefinisikan hybrid contract yaitu “Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”
Menurut Wahbah az-Zuhaili, ‘aqd adalah: “Pertalian atau perikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah yang menetapkan adanya akibat hukum pada objek perikatan”
Kata al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al-jam’u (mashdar), yang berarti pengumpulan atau penghimpunan. Kata murakkab sendiri berasal dari kata “rakkaba-yurakkibu-tarkîban” yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang di atas dan yang di bawah. Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fikih adalah sebagai berikut:
1.      Himpunan beberapa hal, sehingga disebut dengan satu nama. Seseorang menjadikan beberapa hal menjadi satu hal (satu nama) dikatakan sebagai melakukan penggabungan (tarkîb).
2.      Sesuatu yang dibuat dari dua atau beberapa bagian, sebagai kebalikan dari sesuatu yang sederhana (tunggal/basîth) yang tidak memiliki bagian-bagian.
3.      Meletakkan sesuatu di atas sesuatu lain atau menggabungkan sesuatu dengan yang lainnya
Ketiga pengertian ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk menjelaskan makna persis dari istilah murakkab. Pengertian pertama lebih tepat untuk digunakan karena mengandung dua hal sekaligus, yaitu terhimpunnya beberapa hal dan bersatunya beberapa hal itu yang kemudian menjadi satu pengertian tertentu. Pengertian kedua tidak menjelaskan akibat dari terhimpunnya beberapa hal itu. Meski pengertian kedua menyatakan adanya gabungan dua atau beberapa hal, tetapi tidak menjelaskan apa dan bagaimana setelah terjadi penggabungan tersebut. Pengertian terakhir lebih dekat kepada pengertian etimologis, tidak menjelaskan pengertian untuk suatu istilah tertentu.
Dengan demikian pengertian pertama lebih dekat dan pas untuk menjelaskan maksud al-’uqûd al-murakkabah dalam konteks fikih muamalah. Karena itu, akad murakkab menurut Nazih Hammad adalah:
“Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”
Sedangkan menurut Al-‘Imrani, akad murakkab adalah:
“Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad –baik secara gabungan maupun secara timbal balik– sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad.”
Multi akad sebenarnya bukanlah teori baru dalam  khazanah fikih muamalah. Para ulama klasik Islam sudah lama mendiskusikan topik ini berdasarkan dalil-dalil syara’ dan ijtihad yang shahih. Namun, dalam kajian fikih muamalah di pesantren bahkan di Perguruan Tinggi Islam, isu ini kurang banyak dibahas, karena belum banyak bersentuhan dengan realita bisnis  di masyarakat. Pada masa kemajuan lembaga keuangan dan perbankan di masa sekarang, konsep dan topik Multi akad kembali mengemuka dan menjadi teori dan konsep yang tak terelakkan. Sejumlah buku dan karya ilmiah pun bermunculan membahas dan merumuskan teori al-‘ukud al-murakkabah (Multi akad) ini, terutama karya-karya ilmiah dari Timur Tengah.
Tanpa memahami konsep dan teori Multi akad, maka seluruh stake holders  ekonomi syariah sagat dimungkinkan mengalami kesalahan dan kefatalan, sehingga dapat menimbulkan kemudhratan, kesulitan dan kemunduran bagi industri keuangan dan perbankan syariah. Semua pihak yang berkepentingan dengan ekonomi syariah, wajib memahami dan menerapkan konsep ini, mulai dari dirjen pajak, regulator (BI dan OJK), bankers/praktisi LKS,  DPS, notaris, auditor, akuntan, pengacara, hakim, dosen (akademisi), dsb.  Jadi semua pihak yang terkait dengan ekonomi dan keuangan syariah wajib memahami teori dan praktek ini dengan tepat dan dengan baik.
Setidaknya terdapat 10 alasan utama mengapa teori dan praktek Multi akad, perlu dan  wajib diketahui terutama oleh praktisi keuangan/perbankan syariah, regulator, pejabat pajak, pakar ekonomi Islam, DPS, akuntan, notaries, auditor  dan praktisi hukum ekonomi syariah:

Pertama : karena Multi akad terkait dengan  pajak. Banyak produk perbankan dan keuangan syariah yang mengandung Multi akad, seperti Musyarakakah Mutanaqishah (MMq), Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT),  pembiayaan take over, pembiayaan rekening koran, line facility, pasar uang syariah dengan commoditysyariah dan masih banyak lagi. Pejabat dirjen pajak harus memahami teori Multi akad dengan tepat agar tidak salah dalam penagihan pajak.
Kedua:  Multi akad terkait dengan akuntansi dan PSAK, karena dari sekian banyak akad dalam sebuah produk pembiayaan, harus diketahui akad mana yang dicatatkan dalam pembukuan. Dalam akad MMq misalnya, apakah akad ijarah atau musyarakah yang dicatatkan, demikian pula dalam Multi akad  lainnya, seperti kafalah bil ujrah pada L/C, hiwalah bil ujrah pada anjak piutang, wakalah bil ujrah pada factoring, produk gadai yang mengandung tiga akad, rahn, qardh dan ijarah. Apakah penerapan Multi akad membutuhkan PSAK baru yang lebih relevan dengan teori Multi akad.
Ketiga, Multi akad sangat terkait dengan inovasi produk. Bank-bank syariah yang ingin mengembangkan dan menginovasi produk harus memahami teori Multi akad agar bank syariah bisa unggul dan dapat bersaing dengan konvensional. Dengan demikian, peranan Multi akad sangat penting bagi insdustri perbankan dan keuangan. Jangan sampai terjadi banker syariah menolak peluang yang halal karena kedangkalan keilmuan tentang teori-teori pengembangan akad-akad syariah. Untuk itu teori Multi akad harus digunakan dan difahami dgn baik agar bank syariah bisa lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan produk-produknya. Selain itu Multi akad terkait dengan manajemen risiko, termasuk risiko hukum, karena itu praktisi bank syariah mutlak harus memehami teori dan prakteknya
Keempat: Multi akad terkait dengan regulasi. Para regulator (Bank Indonesia dan para direktur lembaga keuangan syariah di  OJK) harus memahami dengan baik teori dan praktek ini agar tidak salah dalam membuat aturan. Kesalahan dalam membuat regulasi, akan berbahaya dan mengganggu pengembangan bank syariah dan LKS.
Kelima: Multi akad  terkait dengan putusan hakim di Pengadilan, putusan arbitrer di Basyarnas dan terkait dengan risiko hukum. Para hakim yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah wajib memahami ini. Berapa banyak putusan pengadilan yang salah, akibat tidak memahami teori hybrid kontracts, contoh kasus pembiayaan take over di Bukit Tinggi.  Maka pengacara syariah juga harus mengerti tentang teori dan praktik Multi akad agar tidak salah dalam melihat akad akad yg serba hybrid, seperti musyarakah mutanaqishah, pembiayaan take over, novasi, IMBT, dll.
Keenam: Multi akad terkait dgn struktur draft kontrak. Teori Multi akad akan memandu (memberi pedoman) kepada legal officer dan notaris, akad-akad apa saja yang bisa disatukan dalam satu draft perjanjian (kontrak) dan akad-akad apa saja yang harus dipisahkan. Bahkan sampai kepada akad-akad apa saja yang harus dinotarilkan dan akas-akad apa saja yang dibuat di bawah tangan.
Ketujuh: Multi akad terkait dengan aspek syariah (syariah compliance). Apakah hybrid contratcs (multi akad) itu mengandung riba atau gharar, apakah hybrid itu mengandung ta’alluq yang diharamkan, apakah Multi akad itu termasuk akad bay’atain fi bay’atin atau shafqatain fi shafqah. Bagaimana penafsiran para ulama tentang hadits itu. Apa dan bagaimana dalil mereka?, Pendapat mana yang paling rajih (kuat) dan paling maslahah.  Bagaimana pula akad hybrid yang muallaq), dsb.
Kedelapan: Multi akad terkait dengan biaya (cost) notaris. Kalau notaries tidak memahami teori hybrid, maka semua akad-akad dalam satu produk, akan dikenakan biaya, semakin banyak akad dalam satu produk, maka akan semakin banyak biayanya. Misalnya produk pembiayaan take over terdiri dari 3 akad, MMq terdiri dari 4 akad, IMBT terdiri dari 2 akad ditambah wa’ad, kartu kredit terdiri dari 3 akad, gadai (bisa) terdiri dari 3 akad, ijarah bertingkat (dua akad), begitu pula ijarah multijasa.  Bahkan pembiayaan murabahah bisa terdiri dari 3 akad, murabahah, wakalah dan jaminan. Berhubung banyaknya akad dalam satu produk, maka teori Multi akad ini harus difahami notaries dan legal offiocer dengan baik.
Kesembilan: Multi akad terkait dengan hukum positif (harmonisasi) dgn hukum positif. Hal ini termasuk masalah penting, karena banyak sekali notaries yang salah faham tentang akad-akad syariah, karena tidak memahami teori syariah tentang Multi akad. Multi akad dirumuskan kadang sebagai makharij (jalan keluar) untuk mewujudkan sharia compliance yaitu agar kontraknya halal dan sesuai  syariah, karena itu semua akad itu harus dilaksanakan walaupun kelihatan seperti berputar (berbelit), tetapi semua itu dimaksudkan untuk kepatuhan kepada syariah, Dalam prakteknya, terkadang tidak semua akad-akad itu harus dinotarilkan sebagai akad otentik. Hal ini terjadi misalnya dalam akad pembiayaan KPR melalui Musyarakah Mutanaqishah, termasuk pembiayaan take over, instrument commodity syariah untuk pasar uang, pembiayaan multiguna syariah, hedging dengan Islamic swap, dan sebagainya.
Kesepuluh: Multi akad terkait dengan ke-simple-an dan efisiensi. Tanpa memahami teori Multi akad selalu terjadi pemborosan (tenaga dan kertas) dan pengulangan pasal-pasal perjanjian yang tidak perlu. Seringkai terjadi format-format akad yang terlalu tebal, karena pasal-pasalnya berulang-ulang di setiap judul akad, dan ini menimbulkan pemborosan tenaga,  kertas, dan biaya lainnya, seperti yang telah terjadi saat ini dimana praktisi perbankan memisahkan akad Musyarakah Mutanaqishah dan ijarah, padahal keduanya bisa disatukan, sehingga lebih efisien dan simple, Demikian pula pada pembiayaan take over, sindikasi dan lain-lain sebagainya.

B.     Jenis Hybrid Contracts
Pertama, Multi Akad yang mukhtalithah (bercampur) yang memunculkan nama baru, seperti bay’ istighlal, bay’ tawarruq, musyarakah mutanaqishah dan bay wafa’.
·      Jual beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli dan ijarah, sehingga bercampur  3 akad. Akad ini disebut juga  three in one
·      Jual Beli Tawarruq percampuran 2 akad jual beli. Jual Beli 1 dengan pihak pertama, Jual Beli kedua dengan pihak ketiga.
·      Musyarakah  Mutanaqishah (MMQ). Akad ini campuran akad syirkah milik dengan  Ijarah  yang mutanaqishah atau jual beli yang disifati dengan mutanaqishah (decreasing). Percampuran akad-akad ini melahirkan nama baru, yaitu musyarakah mutanaqishah (MMQ). Substansinya hampir sama dengan IMBT, karena pada akhir periode barang menjadi milik nasabah, namun  bentuk ijarahnya berbeda,  karena transfer of title ini bukan dengan janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang mutanaqishah, karena itu  sebutannya ijarah saja, bukan IMBT.
·      Bay’ wafa’ adalah percampuran (gabungan) 2 akad jual beli yang melahirkan nama baru. Pada  awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah, akad  ini merupakan multiakad (hybrid), tetapi dalam proses sejarah menjadi 1 akad, dengan nama baru  yaitu bay wafa’.
Kedua Hybrid Contract yang mujtami’ah/mukhtalitah dengan nama akad baru, tetapi menyebut nama akad yang lama, seperti  sewa beli (bay’ at-takjiry) Lease and purchase. Contoh lain  ialah mudharabah musytarakah pada life insurance dan deposito bank syariah. Contoh lainnya yang cukup menarik  ialah menggabungkan wadiah dan mudharabah pada GIRO, yang bisa disebut Tabungan dan Giro Aotomatic Transfer Mudharabah dan Wadiah. Nasabah mempunyai 2 rekening, yakni tabungan dan giro sekaligus (2  rekening dlm 1 produk). Setiap rekening dapat pindah secara otomatis jika salah rek membutuhkan.
Ketiga Hybrid  contract, yang akad-akadnya  tidak bercampur dan tidak melahirkan nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan eksis dan dipraktekkan dalam suatu transaksi. Contohnya :
1.    Kontrak  akad pembiayaan take over pada  alternatif 1 dan 4 pada fatwa DSN MUI No  31/2000.
2.    Kafalah wal ijarah pada kartu kredit,
3.    Wa’ad untuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah, dll pada pembiayaan rekening koran or line facility.
4.    Murabahah wal wakalah pd pembiayaan murabahah basithah.
5.    Wakalah bil ujrah pada L/C, RTGS,  General Insurance, Factoring,
6.    Kafalah wal Ijarah pada LC, Bank Garansi, pembiayaan multi jasa / multi guna, kartu kredit.
7.    Mudharabah wal murabahah/ijarah/istisna pada pembiayaan terhadap karyawan koperasi instansi.
8.    Hiwalah bil Ujrah pada factoring.
9.    Rahn wal ijarah pada REPO SBI dan SBSN
10.    Qardh, Rahn dan Ijarah pada produk gadai emas di bank syariah
Keempat, Hybrid Contract yang akad-akadnya berlawanan (al-’uqûd al-mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah). Ketiga istilah al-mutanâqidhah, al-mutadhâdah, al-mutanâfiyah memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya perbedaan. Tetapi ketiga istilah ini mengandung implikasi yang berbeda. Mutanâqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang pertama. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar, lalu berkata lagi sesuatu itu salah. Perkataan orang ini disebut mutanâqidhah, saling berlawanan. Dikatakan mutanâqidhah karena antara satu dengan yang lainnya tidak saling mendukung, melainkan mematahkan.
Bentuk ini dilarang dalam syariah.  Contohnya menggabungkan akad     jual beli dan pinjaman (bay’ wa salaf). Contoh lain, menggabungkan qardh wal ijarah dalam satu akad. Kedua contoh tersebut dilarang oleh nash (dalil) syariah, yaitu hadits Rasulullah SAW.  Contoh lainnya  : menggabungkan  qardh dengan janji hadiah.

C.    Hukum dan Pandangan Ulama Tentang Hybrid Contracts
Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status hukum dari akad-akad yang membangunnya. Seperti contoh akad bai’ dan salaf yang secara jelas dinyatakan keharamannya oleh Nabi s.a.w.. Akan tetapi jika kedua akad itu berdiri sendiri-sendiri, maka baik akad bai’ maupun salaf diperbolehkan. Begitu juga dengan menikahi dua wanita yang bersaudara sekaligus haram hukumnya, tetapi jika dinikahi satu-satu (tidak dimadu) hukumnya boleh. Artinya, hukum multi akad tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang membangunnya. Bisa jadi akad-akad yang membangunnya adalah boleh ketika berdiri sendiri, namun menjadi haram ketika akad-akad itu terhimpun dalam satu transaksi. Dapat disimpulkan bahwa hukum dari multi akad belum tentu sama dengan hukum dari akad-akad yang membangunnya. Dengan kata lain, hukum akad-akad yang membangun tidak secara otomatis menjadi hukum dari multi akad.
Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi akad ini adalah boleh dan hukum dari multi akad diqiyaskan dengan hukum akad yang membangunnya. Artinya setiap muamalat yang menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Ketentuan ini memberi peluang pada pembuatan model transaksi yang mengandung multi akad.
Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multi akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai hal ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut; membolehkan dan melarang.
Mayoritas ulama Hanâfiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya.
Menurut Ibnu Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan RasulNya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.
Hukum asal dari syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi multi akad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama. Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya.
Aliudin Za’tary dalam buku Fiqh Muamalah Al-Maliyah  al-Muqaran mengatakanTidak ada larangan dalam syariah tentang  penggabungan dua akad dalam satu transaksi, baik akad  pertukaran (bisnis) maupun akad tabarru’. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil  yang memerintahkan  untuk  memenuhi (wafa)  syarat-syarat dan akad-akad”
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama  yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. (Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 69). Kecuali menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan qardh dengan akad yang lain, karena adanya larangan hadits menggabungkan jual beli dan  qardh. Demikian pula menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi.
Menurut Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.( Ibn Taimiyah, Jâmi’ al-Rasâil, j. 2, hal. 317).
Nazih Hammad dalam buku  al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy menuliskan, ”Hukum  dasar dalam  syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi  hybrid contract , selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati. (Nazîh Hammâd, al-’uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy, hal. 8)
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.(Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 344).
Al-Syâtiby menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum.  Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud).[1] ( Al-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 1, hal. 284)
Pendapat ini didasarkan pada beberapa nash yang menunjukkan kebolehan multi akad dan akad secara umum. Pertama firman Allah dalam surat al-Mâidah ayat 1 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah olehmu akad-akad”. (QS. Al-Mâidah : 1).



D.  Batasan dan Standar Multi Akad
Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati. Karena batasan ini akan menyebabkan multi akad menjadi dilarang. Di kalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang disepakati dan diperselisihkan. Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut:

1.    Multi akad dilarang karena nash agama
Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad yang dilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba’i) dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan dua transaksi dalam satu transaksi Dalam sebuah hadis disebutkan: “Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah s.a.w. melarang jual beli dan pinjaman.” (HR Ahmad).
Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang. Imam asy-Syafi’i memberi contoh, jika seseorang hendak membeli rumah dengan harga seratus, dengan syarat dia meminjamkan (salaf) kepadanya seratus, maka sebenarnya akad jual beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan seratus atau lebih. Sehingga harga dari akad jual beli itu tidak jelas, karena seratus yang diterima adalah pinjaman (‘âriyah). Sehingga penggunaan manfaat dari seratus tidak jelas; apakah dari jual beli atau pinjaman.
Ibnu al-Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, meskipun kedua akad itu jika berlaku sendiri-sendiri hukumnya boleh. Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk menghindari terjurumus kepada ribâ yang diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia memperoleh kelebihan dua ratus.
Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama juga sepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam satu transaksi. Semua akad yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti antara ijarâh dan qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh, dan sebagainya. Meski penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun menurut al-‘Imrâni tidak selamanya dilarang. Penghimpunan dua akad ini diperbolehkan apabila tidak ada syarat di dalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga melalui qardh. Seperti seseorang yang memberikan pinjaman kepada orang lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu kepadanya padahal ia masih dalam rentang waktu qardh tersebut.  Yang demikian hukumnya boleh. Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi: “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah s.a.w. melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR Malik).

2.    Multi akad sebagai hîlah ribâwi
Multi akad yang menjadi hîlah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli ‘înah atau sebaliknya dan hîlah ribâ fadhl.



a. Al-‘Înah
Bai al-Inah adalah akad jual beli ketika penjual menjual asetnya kepada pembeli dengan janji untuk dibeli kembali (sale and buy back) dengan pihak yang sama. Bai al-Inah adalah penjualan tunai (cash sale) dilanjutkan dengan pembelian kembali dengan tangguh (deferred payment sale / BBA).
Bai’ al-inah secara umum dapat digambarkan sebagai berikut  : seorang pedagang menjual barang dagangannya dengan diangsur sampai batas waktu yang telah disepakati. Setelah itu, ia membelinya kembali pada majlis yang sama secara kontan dengan harga yang lebih rendah dari harga jual pertama. Bai ‘Inah secara konsepnya berarti menjual barang dan kemudian membeli kembali barang tersebut pada harga yang berbeda, dengan harga tertangguh yang lebih tinggi dari harga tunai.
Definisi bai` inah menurut para ulama adalah seperti berikut:
1. Imam Syafi'i: "Membeli sesuatu dari seseorang secara hutang, kemudian setelah barang tersebut diterima olehnya (Qabdh), barang tersebut dijual kembali kepada pemilik asal atau ke pihak ketiga baik dengan harga tunai yang lebih rendah atau lebih tinggi, atau secara hutang atau dengan penukaran barang. "
2. Al-Haskafi: "Menjual sesuatu secara ditangguhkan untuk mendapat keuntungan. Pihak yang berhutang akan menjualnya kembali pada harga yang lebih rendah untuk menjelaskan utangnya."
3. Al-Zaila `i:" Menjual barang secara ditangguhkan, dan membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah secara tunai. "
4. Al-Dardir: "Penjualan yang dilakukan oleh seseorang yang diminta darinya sesuatu yang tidak dalam pemilikannya."
5. Al-Rafi `i:" Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh. Barang tersebut diserahkan kepada pembeli, dan sebelum menerima pembayaran penjualan (pertama), dia membelinya kembali secara tunai dengan harga yang lebih rendah. "
6. Ibnu Qudamah: "Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh, dan membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah."

Landasan Hukum
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila kamu berjual beli secara ‘inah dan 'memegangi ekor-ekor sapi' [kinayah/kiasan sibuk dengan urusan peternakan/keduniaan] dan puas dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan atas kamu kehinaan, dia tidak akan mencabut hingga kamu kembali kepada agamamu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:423 dan “Aunul Ma’bud IX:335 no:3445).
Misalkan: si A membutuhkan dana cash sebesar Rp 10 juta untuk biaya operasional bisnisnya. Ia kemudian mendatangi bank syariah dimana pihak bank setuju untuk menjual asset kepada si A senilai Rp 10 juta dengan sistem pembayaran cicilan (installment payment). Setelah itu, segera si A membuat perjanjian baru dengan bank syariah untuk menjual assetnya kembali kepada pihak bank secara tunai seharga Rp 8 juta. Dalam hal ini, kedua belah pihak sama-sama diuntungkan : si A memperoleh ‘pinjaman’ Rp 10 juta dan bank mendapatkan keuntungan Rp 10 juta – Rp 8 juta = Rp 2 juta.
Contoh aplikasinya yang lain adalah sebagai berikut:
Hasan membutuhkan uang kas sebanyak Rp 20 juta untuk membiayai kegiatan operasional usahanya. Hasan kemudian meminta bantuan kepada pihak bank syariah. Kemudian bank syariah tersebut akan menjual aset seharga Rp 25 juta pada Hasan dengan pembayaran yang ditangguhkan (installment basis). Setelah itu, Hasan segera membuat perjanjian dengan bank untuk menjual kembali aset tersebut pada pihak bank secara tunai seharga Rp 20 juta (sesuai dengan kebutuhan kegiatan operasional). Dalam hal ini kedua-duanya sama-sama diuntungkan; Hasan memperoleh pinjaman sebanyak Rp 20 juta dan bank mendapatkan keuntungan sebesar Rp5 juta (Rp 25 juta-Rp 20 juta).
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa dua pihak yang terlibat transaksi tersebut tidak menggunakan kontrak penjualan (sales contract) sebagaimana mestinya. Dengan tidak adanya niat untuk menggunakan aset, maka bisa diartikan bahwa mereka melanggar salah satu prinsip kontrak dalam Islam, yaitu tujuan kontrak (maudu'ul aqdi).

Perbedaan Pendapat diantara Para Ulama
Mayoritas ulama menyatakan bahwa bai’ al-inah dilarang sebab ia mengandung suatu cara (zari’ah) untuk melegitimasi riba. Hanafi berpendapat bahwa bai’ al-inah diperbolehkan hanya jika melibatkan pihak ketiga. Diriwayatkan dari Anas bahwa ia pernah ditanya perihal bai’ al-inah maka jawabnya, “Sesungguhnya Allah tidak pernah menipu (hamba_nya), (bai’ al-inah) termasuk hal-hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abbas pernah berkata, “Waspadalah kalian terhadap bai’ al-inah ini. Janganlah menukar dirham dengan dirham yang lain yang diantara keduanya ada  sutra.” Maliki dan Hambali secara tegas menolak ba’ al-inah karena ia adalah suatu cara untuk memanipulasi riba.
Sedangkan ulama yang membolehkan bai’ al-inah diantaranya adalah Syafi’i dan Zahiri. Imam Syafi’i menurut satu riwayat membolehkan bai’ al-inah berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan Abu Hurairah, “Tukarkanlah kurma yang jelek dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham itu hendaklah engkau membeli kurma yang bagus.”
Dalam mencermati masalah bai’ al-inah ini, menarik untuk dicermati adalahpendapat Ibnu Taimiyah tentang penjualan (sales). Ibnu Taimiyah membagi penjualan menjadi 3 (tiga) kelompok : Pertama, seseorang membeli barang dengan tujuan untuk dikonsumsi. Tentu saja dalam hal ini hukum Islam membolehkannya. Kedua, seseorang membeli barang dalam rangka untuk dijual kembali. Dalam hal ini pun Islam tidak melarangnya. Ketiga, seseorang membeli barang bukan untuk tujuan seperti kelompok pertama dan kedua, namun untuk mendapatkan uang. Karena meminjam uang sangat sulit, ia harus membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dan segera setelah itu dijual kembali kepada pihak yang sama untuk mendapatkan uang kas.
Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa agama menetapkan seseorang yang memberikan qardh (pinjaman) agar tidak berharap dananya kembali kecuali sejumlah qardh yang diberikan, dan dilarang menetapkan tambahan atas qardh baik dengan hîlah atau lainnya. Demikian pula dengan jual beli disyariatkan bagi orang yang mengharapkan memberikan kepemilikan barang dan mendapatkan harganya, dan dilarang bagi yang bertujuan ribâ fadhl atau ribâ nasa‘, bukan bertujuan pada harga dan barang.  Demikian pula dengan transaksi kebalikan ‘inah juga diharamkan. Seperti seseorang menjual sesuatu dengan harga delapan puluh tunai dengan syarat ia membelinya kembali dengan harga seratus tidak. Transaksi seperti ini telah menyebabkan adanya ribâ.



b. Hîlah ribâ fadhl
Hal ini terjadi apabila seseorang menjual sejumlah (misalnya 2 kg beras) harta ribawi dengan sejumlah harga (misalnya Rp 10.000) dengan syarat bahwa ia – dengan harga yang sama    (Rp 10.000)- harus membeli dari pembeli tadi sejumlah harta ribawi sejenis yang kadarnya lebih banyak (misalnya 3 kilogram) atau lebih sedikit (misalnya 1 kilogram). Transaksi seperti ini adalah model hîlah ribâ fadhl yang diharamkan.
Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman Nabi s.a.w. di mana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi s.a.w., dan beliau mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga sendiri.
Maksud hadis di atas, menurut Ibn al-Qayyim, adalah akad jual beli pertama dengan kedua harus dipisah. Jual beli kedua bukanlah menjadi syarat sempurnanya jual beli pertama, melainkan berdiri sendiri. Hadis di atas ditujukan agar dua akad itu dipisah, tidak saling berhubungan, apalagi saling bergantung satu dengan lainnya.

1) Multi akad menyebabkan jatuh ke ribâ
Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti ribâ, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. Hal ini terjadi seperti pada contoh:
2) Multi akad antara akad salaf dan jual beli
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi melarang multi akad antara akad jual dan salaf. Larangan ini disebabkan karena upaya mencegah (sadd adz-dzarî’ah) jatuh kepada yang diharamkan berupa transaksi ribawi.
Jumhur ulama melarang praktik multi akad ini, yakni terjadinya penghimpunan akad jual beli (mu’âwadhah) dengan pinjaman (qardh) apabila dipersyaratkan. Jika transaksi multi akad ini terjadi secara tidak disengaja diperbolehkan karena tidak adanya rencana untuk melakukan qardh yang mengandung ribâ.
3) Multi akad antara qardh dan hibah kepada pemberi pinjaman (muqridh)
Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Seperti contoh, seseorang meminjamkan (memberikan utang) suatu harta kepada orang lain, dengan syarat ia menempati rumah penerima pinjaman (muqtaridh), atau muqtaridh memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, atau memberi tambahan kuantitas atau kualitas objek qardh saat mengembalikan. Transaksi seperti ini dilarang karena mengandung unsur ribâ.
Apabila transaksi pinjam meminjam ini kemudian disertai hadiah atau kelebihan, tetapi dilakukan sendiri secara sukarela oleh orang yang diberi pinjaman, tanpa ada syarat dan kesepakatan sebelumnya hukumnya halal, karena tidak mengandung unsur ribâ di dalamnya.
4) Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan
Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara akad-akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan/atau akibat hukumnya saling berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasari atas larangan Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan muamalah yang kental dengan nuansa dan upaya perhitungan untung-rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial yang mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih sayang serta tujuan mulia. Karena itu, ulama Malikiyah melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara jual beli dengan ju’âlah, sharf, musâqah, syirkah, qirâdh, atau nikah.
Meski demikian, sebagian ulama Malikiyah dan mayoritas ulama non-Malikiyah membolehkan multi akad jenis ini. Mereka beralasan perbedaan hukum dua akad tidak menyebabkan hilangnya keabsahan akad. Dari dua pendapat ini, pendapat yang membolehkan multi akad jenis ini adalah pendapat yang unggul. Larangan multi akad ini karena penghimpunan dua akad yang berbeda dalam syarat dan hukum menyebabkan tidak sinkronnya kewajiban dan hasil. Hal ini terjadi karena dua akad untuk satu objek dan satu waktu, sementara hukumnya berbeda. Sebagai contoh tergabungnya antara akad menghibahkan sesuatu dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan (mutadhâdah) inilah yang dilarang dihimpun dalam satu transaksi.

Minggu, 26 Juni 2016

Risiko dan Keunggulan Akad Jual Beli


RISIKO DAN KEUNGGULAN PENGGUNAAN AKAD JUAL BELI DALAM KEUANGAN ISLAM

A.    Pendahuluan
Dunia perbankan memegang peranan penting dalam stabilitas ekonomi. Hal ini dapat dilihat ketika sektor ekonomi mengalami penurunan maka salah satu cara mengembalikan stabilitas ekonomi adalah menata sektor perbankan. Sehingga kebijakan pengembangan industri perbankan diarahkan untuk mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan yang pada gilirannya akan membantu mendorong perekonomian nasional secara berkesinambungan.
Perbankan Indonesia tidak hanya diisi oleh perbankan konvensional saja. Terdapat pula perbankan syariah yang sejak tahun 1992 telah memainkan perannya di dunia perbankan Indonesia. Bank syariah adalah bank yang tata cara dan operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam dengan prinsip yang berorientasi produktif, berlandaskan keadilan, dan mengembangkan investasi yang halal dalam perbaikan kesejahteraan masyarakat (Karim, 2003).
Di samping itu, fungsi bank sebagai lembaga keuangan untuk menyalurkan dana kepada peminjam yang membutuhkan dalam bentuk pembiayaan dan semakin kompleksnya kebutuhan pendanaan baik yang bersifat modal, investasi maupun konsumsi dari masyarakat dan korporasi mengakibatkan pembiayaan perbankan syariah pun semakin berkembang.
Dari kegiatan pembiayaan ini, semakin banyak dana yang disalurkan maka potensi timbulnya risiko pun semakin besar. Hal ini karena pembiayaan merupakan salah satu aktivitas perbankan yang memiliki risiko disebabkan oleh adanya ketidakmampuan peminjam untuk melunasi kewajibannya kepada pihak bank. Besarnya risiko pembiayaan ditunjukkan dalam rasio Non Performing Finance (NPF). Tingginya NPF menunjukkan banyaknya jumlah peminjam yang tidak dapat mengembalikan pinjaman sesuai dengan perjanjian awal yang telah disepakati bersama antara bank dengan peminjam. Pembiayaan dengan kolektibilitas kurang lancar, diragukan, dan macet termasuk dalam NPF. Semakin besar NPF menunjukkan semakin tinggi tingkat pembiayaan bermasalah, sehingga mengakibatkan turunnya pendapatan yang berpengaruh pada kinerja, tingkat kesehatan, dan kelangsungan bank.
Risiko pembiayaan perlu dikendalikan. Kegiatan pembiayaan dan pengendalian risiko hendaknya diantisipasi oleh kualitas sistem manajemen risiko pembiayaan yang baik. Identifikasi dan analisis manajemen risiko pembiayaan sangat penting dan berguna sebagai input alternatif manajerial terhadap berbagai kemungkinan terjadinya risiko pembiayaan.
B.     Bank Syariah
Bank Islam adalah lembaga keuangan atau perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum atau syariah Islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariah Islam (Siamat, 2004).
Menurut Karim (2003), dalam kegiatan operasionalnya, bank syariah melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menerima simpanan, memberikan pinjaman, dan memberikan pelayanan jasa dengan berlandaskan prinsip syariah. Baraba dalam Darajat (2007), menambahkan satu fungsi bank syariah, yaitu sebagai pengelola fungsi sosial seperti pengelolaan dana zakat dan penerimaan serta penyaluran dana kebajikan.
Menurut Muhammad dalam Darajat (2007), hal-hal yang harus dilakukan bank syariah dalam menjalankan operasionalnya adalah dengan cara menjauhkan diri dari praktik-praktik yang memiliki unsur riba serta menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan. Unsur riba tersebut dihindari dengan cara:
1)      Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan keberhasilan suatu usaha di muka secara pasti.
2)      Menghindari penggunaan sistem presentasi untuk pembebanan biaya terhadap utang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis utang atau simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu.
3)      Menghindari penggunaan sistem perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas.
4)      Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela.
Hal lain yang membedakan bank syariah dengan bank konvesional terlihat dari beberapa aspek, yaitu aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja (Antonio, 2001).
a)      Akad dan Aspek Legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi baik duniawi maupun ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Setiap akad dalam bank syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad seperti hal­hal berikut:
·         Rukun, mencakup penjual, pembeli, barang yang dipertukarkan, harga, dan akad (ijab kabul).
·         Syarat, seperti:
1)        Barang dan jasa bersifat halal, sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
2)        Harga barang dan jasa harus jelas.
3)        Tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
4)        Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan, tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki dan dikuasai.
b)      Struktur Organisasi
Unsur yang paling membedakan antara bank syariah dengan bank konvensional adalah adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada bank syariah, yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. DPS biasanya diletakkan pada posisi setingkat dewan komisaris pada setiap bank. Hal ini bertujuan untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh DPS. Oleh karena itu, biasanya penetapan anggota DPS dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota DPS tersebut mendapatkan rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
c)      Bisnis dan Usaha yang Dibiayai
Bank syariah tidak mungkin membiayai usaha yang terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan. Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut: Apakah objek pembiayaan itu halal atau haram? Apakah proyek menimbulkan kerugian bagi masyarakat? Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan asusila? (Antonio, 2001).
d)     Lingkungan Kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah, antara lain sikap amanah dan shiddiq yang baik. Di samping itu, karyawan bank syariah harus memiliki skill yang baik dan profesional, dan tabhligh. Dalam reward dan dan punishment pun juga diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan prinsip syariah. Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan juga harus mengikuti syariat Islam (Antonio, 2001).
C.    Pembiayaan Bank Syariah
Menurut UU No.7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Bank Indonesia (2007), menyebutkan bahwa pembiayaan syariah mengandung beberapa nilai dasar dalam pelaksanaannya, yaitu:
1.      Keadilan, pembiayaan saling menguntungkan baik pihak yang menggunakan dana maupun pihak yang menyediakan dana.
2.      Kepercayaan, merupakan landasan dalam menentukan persetujuan pembiayaan baik dalam menghitung margin keuntungan maupun bagi hasil yang menyertai pembiayaan tersebut.
Jenis-Jenis Pembiayaan
Jenis-jenis pembiayaan pada bank syariah, yaitu (Karim, 2003):
1.      Pembiayaan Modal Kerja Syariah.
Adalah pembiayaan jangka pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
2.      Pembiayaan Investasi Syariah
Adalah pembiayaan jangka menengah atau jangka panjang untuk pembelian barang-barang modal yang diperlukan untuk:
a.       Pendirian proyek baru, yaitu pendirian atau pembangunan proyek atau pabrik dalam rangka usaha baru.
b.      Rehabilitasi, yaitu penggantian mesin atau peralatan lama yang sudah rusak dengan mesin atau peralatan baru yang lebih baik.
c.       Modernisasi, yaitu penggantian secara keseluruhan mesin atau peralatan lama dengan mesin atau peralatan baru dengan teknologi yang lebih baik.
d.      Relokasi proyek yang sudah ada, yaitu pemindahan lokasi proyek atau pabrik secara keseluruhan (termasuk sarana penunjang pabrik, seperti laboratorium).
3. Pembiayaan Konsumsi Syariah
Adalah pembiayaan yang bertujuan memenuhi kebutuhan nasabah baik barang maupun jasa yang tidak dipergunakan untuk tujuan usaha dan umumnya bersifat perorangan.
Produk Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Jual Beli
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayaran dan waktu penyerahan barangnya, yaitu :
F Murabahah
Adalah perjanjian jual beli antara bank dan nasabah dimana bank syariah membeli barang yang diperlukan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan dengan margin atau keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Secara istilah, ada banyak definisi yang muncul di antaranya:
1.      Murabahah adalah menyebutkan harga pokok barang si pembeli dengan harapan agar si pembeli memberikan keuntungan kepada si penjual.
2.      Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati
3.      Murabahah adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Sedangkan para ulama kontemporer dan peneliti ekonomi islam memberikan sedikit definisi yang berbeda. Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:
1.      Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).
2.      Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
3.      Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.
Nama lain Jual Beli Murabahah di antaranya, al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’, al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’, Bai’ al-Muwa’adah, al-Murabahah al-Mashrafiyah, al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah. Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP).
Bentuk Gambaran Murabahah dalam Praktek
Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat di dunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1.      Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya dimuka. Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya.
2.       Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
·         Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka.
·         Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
3.      Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya.
Operasional Murabahah
Produk murabahah adalah pembiayaan perbankan syariah dengan memakai prinsip jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak bank selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, atau sebagai dana talangan. Karakteristiknya adalah penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Pembayaran dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan kesepakatan bersama.
Bila dilihat sekilas, terdapat persamaan jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumtif. Persamaannya antara lain, pembiayaan yang diberikan adalah barang (motor, mobil, dll.)/bukan uang, dan pembayarannya secara cicilan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam sesuai dengan fatwa DSN MUI, karakteristiknya berbeda. Terdapat beberapa perbedaan utama antara jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumen. 
1.      Perbedaan pertama, harga jual pembiayaan konsumen biasanya memakai tingkat bunga yang tergantung situasi pasar, sedangkan margin/tingkat keuntungan murabahah (bila sudah terjadi ijab kabul) bersifat tetap, sehingga harga jual tidak boleh berubah.
2.      Perbedaan kedua, akad murabahah adalah akad jual beli, sehingga diwajibkan adanya suatu barang yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan tersebut berupa harta yang jelas harganya, seperti mobil atau motor. Sedangkan akad pembiayaan konsumen adalah akad pinjam meminjam. Dalam hal ini belum tentu ada barangnya.
3.      Perbedaan ketiga, dalam hal utang nasabah. Dalam jual beli murabahah, utang nasabah adalah sebesar harga jual. Harga jual adalah harga perolehan/pembelian barang ditambah keuntungan yang disepakati. Apabila nasabah mengangsur utangnya, utang nasabah itu akan berkurang sebesar pembayaran angsuran yang dilakukan, jadi tidak membedakan lagi unsur pokok dan keuntungan. Sedangkan pada pembiayaan konsumen, utang nasabah adalah sebesar pokok kredit ditambah dengan bunga. Bila dibayar secara angsuran, utang nasabah akan berkurang sebesar pembayaran angsuran pokok kredit dan pembayaran bunga. Jadi, dalam pembiayaan konsumen dikenal adanya utang pokok dan hutang bunga.
Risiko Pembiayaan Murabahah
Risiko yang timbul dari pembiayaan murabahah, diantaranya:
-        Default atau kelalaian diakibatkan oleh nasabah yang tidak membayar angsuran dengan sengaja.
-        Penundaan kewajiban pembayaran pada waktu jatuh tempo yang disebabkan oleh ketidakmampuan nasabah menimbulkan kerugian bagi bank, karena bank tidak diperbolehkan menerima tambahan pendapatan dari keterlambatan tersebut melainkan menunggu hingga nasabah mampu membayar angsurannya.
-        Fluktuasi harga komparatif.
-        Penolakan nasabah terhadap barang yang dibeli karena rusak atau tidak sesuai dengan spesifikasi dari permintaan nasabah.
-        Nasabah menolak membeli barang setelah mengambil penguasaan sebagai wakil.
-        Nasabah tidak melakukan pembelian aset/barang baru; nasabah telah melakukan pembelian dan sekarang menginginkan dana untuk pembayaran kepada pemasok; nasabah melibatkan Ba’I al’Inah sehingga tidak sesuai dengan syariah.
-        Barang/aset telah digunakan oleh nasabah sebelum penawaran dan penerimaan; barang/aset tidak ada ketika murabahah dilakukan sehingga tidak sesuai syariah.
-        Dalam perjalannya, risiko kehancuran barang sebelum penawaran dan penerimaan tanpa kelalaian wakil.
-        Keterlambatan.
-        Risiko kegagalan.
-        Pemasok mungkin tidak memenuhi kewajibannya.
-        Pembelian dari atau penjualan kembali ke rekanan atau perusahaan subside.
Alat Pengurangan Risiko Pembiayaan Murabahah
Alat/cara yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko dalam pembiayaan murabahah diantaranya:
-        Janji untuk membeli barang bisa diminta ke nasabah. Selain itu, Hamish Jiddiyah dapat digunakan, yang darinya bank bisa menutup kerugian aktual.
-        Melakukan pembayaran langsung kepada pemasok DD/PO.
-        Mendapatkan tagihan atas barang yang dibeli. Tanggal tagihan harus tidak lebih awal dari tanggal perjanjian perwakilan dan tidak lebih lama dari pernyataan atau penawaran pembelian.
-        Sebagai tambahan atas tagihan, perolehan bukti lain, seperti tiket gerbang, buku catatan persedian, resi truk.
-        Pengurangan interval waktu ketika penawaran akan dilakukan secara periodic; pemeriksaan fisik atas barang secara acak.
-        Selama perjalanan, barang dimiliki oleh bank dan semua risikonya ditanggung oleh bank. Risiko ini dapat dikurangi dengan menggunakan perlindungan takaful.
-        Upaya dari nasabah diminta untuk memberikan suatu jumlah tertentu untuk sosial dalam kasus keterlambatan pembayaran.
-        Jaminan/agunan dapat diminta untuk menutupi kerugian.
-        Wakil dalam kapasitas pribadinya, dapat menjamin kinerja pemasok.
-        Dapat informasi pihak terkait dari laporan keuangan perusahaan atau melalui sumber lain.
F Salam
Menurut UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan akad salam adalah akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati. Salam Paralel berarti melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Banyak orang yang menyamakan ba’i as-salam dengan ijon, padahal terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Dalam ijon barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan harga beli, sangat bergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang sering kali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah.
Adapun transaksi ba’i as-salam mengharuskan adanya dua hal berikut.
1.      Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas.
2.      Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak.
Tujuan salam yaitu dilakukan karena pembeli berniat memberikan modal kerja terlebih dahulu untuk memungkinkan penjual (produsen) memproduksi barangnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian salam adalah perjanjian jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran harga terlebih dahulu. Dalan transaksi ini, kualitas, kuantitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Manfaat bai’as-salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli. Adapun manfaat lain bagi bank sebagai berikut.
·         sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dalam rangka memperoleh barang tertentu sesuai kebutuhan nasabah akhir.
·         memperoleh peluang untuk mendapatkan keuntungan apabila harga pasar barang tersebut pada saat diserahkan ke bank lebih tinggi daripada jumlah pembiayaan yang diberikan.
·         memperoleh pendapatan dalam bentuk margin atas transaksi pembayaran barang ketika diserahkan kepada nasabah akhir
Resiko Pembiayaan Salam
Resiko yang timbul dari pembiayaan salam, diantaranya:
a.       Risiko pihak lawan dan penyerahan
-        Karena barang dalam salam dibayar di muka, nasabah dapat lalai setelah menerima pembayaran.
-        Dalam kasus barang yang berbeda dan konsinyasi, mungkin terdapat perselisihan mengenai harga, kuantitas dan kualitas.
-        Barang-barang yang cacat dapat pula diserahkan.
-        Barang-barang dapat diserahkan terlambat.
b.      Komoditas (risiko harga)
-        Karena sifat dasar kontrak (akad) salam adalah pembelian atas barang di muka, harga komoditas bisa lebih rendah dari harga pasar atau harga yang tadinya diharapkan/dianggap sesuai dengan harga pasar pada saat penyerahan.
c.       Komoditas (risiko pemasaran)
-        Bank mungkin tidak dapat memasukkan barang secara tepat waktu sehingga mengakibatkan kerugian aset dan penguncian dana dalam barang tersebut.
d.      Risiko penahanan aset
-        Bank islami harus menerima barang dan menanggung biaya penahanan hingga waktu penyerahan.
e.       Kemungkinan penghentian dari awal
-        Nasabah mungkin akan mengembalikan uang dan menolak pemasokan atas barang-barang.
f.       Salam parallel
-        Penjual asli mungkin tidak akan diselesaikan pada waktu yang telah ditetapkan; pembeli dalam salam parallel dapat menuntut bank untuk pemasokan yang tepat waktu.
Alat Pengurangan Risiko dalam Pembiayaan Salam
Alat/cara yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko dalam pembiayaan salam diantaranya:
a.       Risiko pihak lawan dan penyerahan
-        Bank dapat mencairkan jaminan dan dapat membeli barang yang sama dari pasar.
-        Dalam MoU salam, waktu, kualitas, kuantitas dan waktu masing-masing komoditas harus dilakukan.
-        Jaminan/keamanan dan obligasi kinerja dapat diambil untuk mengurangi kerugian.
-        Klausal sanksi dapat dimasukkan ke dalam kontrak (akad) sebagai pencegahan atas penyerahan yang terlambat. Jumlah sanksi akan diserahkan ke rekening amal.
b.      Komoditas (risiko harga)
ü  Bank dapat menjalankan salam parallel dan dapat pula mendapatkan janji membeli dari pihak ketiga.
c.       Komoditas (risiko pembayaran)
ü  Bank seharusnya hanya membeli barang yang memiliki potensi untuk dipasarkan dan mengambil janji yang mengikat dari pembeli yang prospektif beserta sejumlah Hamish Jiddiyah yang mencukupi. Menjadikan penjual salam sebagai wakil bank untuk menjual barang adalah alat pengurangan risiko yang baik pula.
d.      Risiko penahanan aset
ü  Biaya ini dapat ditutupi dalam transaksi parallel dengan survei pasar yang tepat, fisibilitas dan studi praktik pada pedagang di daerah yang relevan.
e.       Kemungkinan penghentian lebih awal
ü  Salam adalah kontrak (akad) yang mengikat; penjual tidak dapat secara unilateral mengakhiri kontrak (akad). Sanksi dapat dimasukkan ke dalam kontrak (akad) untuk menghalangi praktik yang demikian; uang dari sanksi ini akan dimasukkan ke rekening amal.
f.       Salam parallel
ü  Bank dapat membeli aset serupa dari pasar spot untuk pemasokan kepada pembeli dan menutup kerugian yang terjadi, jika ada, dari penjual dalam salam yang awal.
F Istishna
Transaksi ba’i istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pemembeli dan pembuat barang. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnyakepada pembeli akhir. Menurut jumhur fuqaha, ba’i istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akdad ba’i asalam.
Dalam fatwa DSN-MUI, jual-beli istishna adalah akad jual beli dlam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan pesyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).
Padadasarnya pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan seperti transaksi murabahah. Hanya saja berbeda dengan murabahah dimana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli istishna’ barang disaerahkan di belakang, walaupun uangnya sama-sama dibayar secara cicil juga.
Dapat disimpulkan di sini bahwa al-istisna' adalah perjanjian jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual atau merupakan jual beli yang mana seseorang pembeli membuat tempahan sesuatu barang seperti baju, kereta, perabot, dan sebagainya kepada pihak lain. Jual beli ini hukumnya harus.
Tujuan Istishna’
Pembiayaan dengan akad Istishna’ ini bertujuan untuk mempermudah nasabah dalam melakukan jual beli terutama dalam hal manufaktur yang mana membutuhkan biaya besar, sedangkan nasabah/ pembeli tidak cukup memiliki biaya. Sehingga pihak pemberi biaya memberikan kemudahan dalam pembiayaan nasabah kepada penjual.
Manfaat Penggunaan Akad Istishna’
Manfaat ba’i istishna’ sama dengan ba’i salam, karena pada hakekatnya sama. Dan manfaat yang diperoleh dari ba’i istishna’ yaitu memperoleh selisih haraga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli.
Resiko Pembiayaan Istishna
Resiko yang timbul dari pembiayaan istishna, diantaranya:
a.       Kepemilikan bahan
ü  Bank islami bukanlah pemilik bahan yang berada dalam kepemilikan pemanafaktur guna memproduksi aset. Ia tidak memiliki hak atasnya bila terjadi kasus kelalaian pemenuhan kinerja.
b.      Risiko penyerahan
ü  Bank mungkin tidak mampu menyelesaikan proses memanufaktur barang seperti yang telah dijadwalkan karena keterlambatan penyerahan barang jadi oleh sub kontraktor dalam istishna parallel.
c.       Jual beli tidak diperbolehkan sebelum penyerahan
ü  Jual beli barang istishna tidak diperbolehkan sebelum mengambil kepemilikan fisik. Hal ini dapat menimbulkan ke risiko aset, harga dan pemasaran.
d.      Risiko kualitas
ü  Bank islami mendapatkan penyerahan barang yang dimanufaktur dengan kualitas inferior, yang dapat pula memengaruhi kontrak (akad) awal.
Alat Pengurangan Risiko dalam Pembiayaan Istishna
Alat/cara yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko dalam pembiayaan istishna diantaranya:
a.       Kepemilikan bahan
ü  Jaminan tersedia bagi bank.
b.      Risiko penyerahan
ü  Dengan berbasiskan peraturan “Syart al-Jazai”, bank dapat menambahkan klausal untuk mengurangi harga istishna dalam kasus keterlambatan ke dalam perjanjian istishna.
c.       Jual beli tidak diperbolehkan sebelum penyerahan
ü  Bank bisa mendapatkan “janji untuk membeli” dari pihak ketiga dan dapat mengatur jual beli melalui wakil.
d.      Risiko kualitas
ü  Bank dapat memperoleh jaminan kualitas dari pemasok awal.
F Ijarah
Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).
Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi. Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.
Berdasarkan hal itu, menyewakan pohon agar dimanfaatkan buahnya hukumnya tidak sah karena pohon itu sendiri bukan keuntungan atau manfaat. Demikian juga menyewakan dua jenis mata uang (emas dan perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Alasannya semua jenis barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan mengkonsumsi bagian dari barang tersebut. Hukum sewa juga diberlakukan atas sapi, domba atau unta untuk diambil susunya. Akad sewa mengharuskan penggunaan manfaat dan bukan barang itu sendiri.
Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Kadangkala dalam bentuk karya seperti karya seorang arsitek, tukang tenun, penjahit.
Apabila akad sewa diputuskan, penyewa sudah memliki hak atas manfaat dan pihak yang menyewakan berhak mengambil kompensasi sebab sewa adalah akad mu’awwadhah timbal balik.
Fitur dan Mekanisme Ijarah
1.      Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), yaitu memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir);dan mengakhiri akad Ijarah dan menarik objek Ijarah apabila penyewa tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
2.      Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
a)      menyediakan objek ijarah yang disewakan;
b)      menanggung biaya pemeliharaan objek ijarah;        
c)      menjamin objek ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik.
3.      Hak penyewa (musta’jir), antara lain meliputi:
a)      menerima objek ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan;
b)      menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan.
4.      Kewajiban penyewa antara lain meliputi:
a)      membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan;
b)      mengembalikan objek iajrah apabila tidak mampu membayar sewa;
c)      menjaga dan menggunakan objek ijarah sesuai yang diperjanjikan;\
d)     tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan objek ijarah kepada pihak lain.
Objek ijarah adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan, antara lain:
a)      objek ijarah merupakan milik dan/atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
b)      manfaat objek ijarah harus dapat dinilai;
c)      manfaat objek ijarah harus dapat diserahkan penyewa (musta’jir);
d)     pemanfaatan objek ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak diharamkan);
e)      manfaat objek ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas;
f)       spesifikasi objek ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu pemanfaatannya.
Resiko Pembiayaan Ijarah
Resiko yang timbul dari pembiayaan ijarah, diantaranya:
-        Bank membeli aset sesuai dengan permintaan nasabah, tapi nasabah kemudian menolak menyewa aset tersebut.
-        Nasabah mungkin gagal dalam pembayaran uang sewa yang jatuh tempo. Bank mungkin tidak dapat menutup kerugian atas investasinya; aset kemudian ditarik kembali, tapi tidak mencakup kerugiannya.
-        Risiko aset dari pemeliharaan utama/kehancuran.
-        Penghentian dini dari perjanjian penyewaan.
-        Pihak penyewa bisa menggunakan aset tanpa berhati-hati sehingga menuntut bank menanggung pengeluaran pemeliharaan besar.
-        Risiko tingkat pengembalian karena adanya inflasi.
-        Penjualan aset pada saat jatuh tempo, nasabah bisa membelinya atau tidak.
Alat Pengurangan Risiko dalam Pembiayaan Ijarah
Alat/cara yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko dalam pembiayaan ijarah diantaranya:
-        Janji mengingat untuk menyewakan harus diminta dari nasabah pada saat pemesanan/pembelian aset oleh bank. Hamish Jiddiyah juga harus diminta dari nasabah. Bank dapat menjual aset di pasar terbuka dan kerugian aktualnya dapat tertutupi dari Hamish Jiddiyah.
-        Upaya nasabah untuk meminta membayar sejumlah uang untuk sosial dalam kasus keterlambatan pembayaran uang sewa harus diminta ke nasabah. Jumlah uang ini akan diberikan ke rekening sosial. kerugian aktual dapat ditutup dari Hamish Jiddiyah. Surat berharga/jaminan dapat pula diberikan.
-        Risiko ini dapat dikelola melalui fasilitas tafakul.
-        Dengan mengingat nilai pasar, bank dapat pula mengambil asetnya kembali dan menjualnya di pasar untuk mencairkan investasinya. Dalam kasus yang lebih berisiko, upaya pembelian aset pada jadwal harga yang telah di tetapkan dapat diminta dari nasabah.
-        Tanda kepercayaan harus diminta dari nasabah untuk mengikatnya untuk menggunakan aset sebagai walinya. Dapat pula disebutkan dalam tanda kepercayaan tersebut bahwa kerugian yang ditanggung oleh kelalaian nasabah akan ditanggung oleh nasabahnya sendiri.
-        Risiko ini dapat ditanggulangi dengan tingkat uang sewa mengambang yang dikaitkan dengan tolak ukur tertentu, yang diperbolehkan asalkan ada batas atas dan batas bawah tertentu.
-        Hanya aset yang dapat disewakan yang memiliki nilai jual kembali yang dapat bank jual di pasar. Kalau tidak, janji terpisah untuk membeli pada akhir periode penyewaaan dapat diminta dari nasabah.
-        Dalam hal barang yang disewakan adalah milik bank, ketiadaan nasabah akan  menimbulkan risiko tidak produktifnya asset ijarah.
-        Dalam hal barang yang disewakan adalah bukan milik bank, timbul risiko kerusakan barang diluar pemakaian normal.
-        Dalam hal jasa tenaga kerja yang disewakan bank kepada nasabah memungkinkan timbulnya risiko ketidaksesuaian nasabah terhadap performance pemberi jasa.
D.    Teknik Pengelolaan Risiko
Pada prinsipnya, terdapat empat teknik pengelolaan risiko secara klasik. Keempat teknik tersebut adalah penghindaran risiko, pengurangan risiko, pemindahan risiko, dan penanganan risiko (Djohanputro, 2004):
  1. Penghindaran Risiko
Penghindaran risiko adalah tindakan bank untuk tidak melakukan kegiatan tertentu yang mengandung risiko yang tidak diinginkan. Pada dasarnya, tidak ada manusia yang bisa menghindari risiko, demikian halnya dengan bank. Oleh karena itu, bank dapat menghindari beberapa risiko dengan tidak memasuki wilayah bisnis atau kegiatan tertentu. Hal terpenting adalah kemampuan bank melakukan studi dan identifikasi risiko.
  1. Pengurangan Risiko
Pengurangan risiko penting dilakukan oleh bank agar dapat menekan besarnya risiko. Teknik ini dapat dilakukan dengan cara pengurangan kemungkinan terjadinya peril (risiko yang menjadi kenyataan) atau menekan besarnya dampak bila peril terjadi.
  1. Pemindahan Risiko
Pemindahan atau pengalihan risiko dilakukan dengan cara memindahkan risiko dari satu pihak ke pihak lainnya dengan tujuan bisnis, seperti asuransi. Akibat pemindahan risiko menimbulkan biaya. Terdapat dua macam biaya yang ditanggung bank akibat mengalihkan risiko kepada pihak lain. Biaya berupa premi yang harus dibayarkan kepada pihak penanggung risiko dan biaya berupa hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dengan menanggung risiko.
  1. Penanganan Risiko
Penanganan terhadap risiko dilakukan karena dua sebab. Pertama, bank secara sadar ingin mempertahankan risiko dan mengelolanya sendiri. Dengan pertimbangan didasarkan atas efektivitas biaya dan selama manajemen memiliki kemampuan serta sumber daya untuk mengelola sehingga dapat memberikan hasil yang lebih tinggi dari risiko itu sendiri. Kedua, bank tidak mengetahui risiko tersebut sehingga risiko yang tidak teridentifikasi tidak akan dikelola.


Daftar Pustaka
Antonio, MS. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Dendawijaya, L. 2000. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Djohanputra, B. 2004. Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi. Jakarta: PPM.
Karim, A. 2003. Analisis Fiqih dan Keuangan Bank Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kountur, R. 2004. Manajemen Risiko. Jakarta: Abdi Tandur.
Muhammad Ayub. 2007. Understanding Islamic Finance. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama