Minggu, 26 Juni 2016

Risiko dan Keunggulan Akad Jual Beli


RISIKO DAN KEUNGGULAN PENGGUNAAN AKAD JUAL BELI DALAM KEUANGAN ISLAM

A.    Pendahuluan
Dunia perbankan memegang peranan penting dalam stabilitas ekonomi. Hal ini dapat dilihat ketika sektor ekonomi mengalami penurunan maka salah satu cara mengembalikan stabilitas ekonomi adalah menata sektor perbankan. Sehingga kebijakan pengembangan industri perbankan diarahkan untuk mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan yang pada gilirannya akan membantu mendorong perekonomian nasional secara berkesinambungan.
Perbankan Indonesia tidak hanya diisi oleh perbankan konvensional saja. Terdapat pula perbankan syariah yang sejak tahun 1992 telah memainkan perannya di dunia perbankan Indonesia. Bank syariah adalah bank yang tata cara dan operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam dengan prinsip yang berorientasi produktif, berlandaskan keadilan, dan mengembangkan investasi yang halal dalam perbaikan kesejahteraan masyarakat (Karim, 2003).
Di samping itu, fungsi bank sebagai lembaga keuangan untuk menyalurkan dana kepada peminjam yang membutuhkan dalam bentuk pembiayaan dan semakin kompleksnya kebutuhan pendanaan baik yang bersifat modal, investasi maupun konsumsi dari masyarakat dan korporasi mengakibatkan pembiayaan perbankan syariah pun semakin berkembang.
Dari kegiatan pembiayaan ini, semakin banyak dana yang disalurkan maka potensi timbulnya risiko pun semakin besar. Hal ini karena pembiayaan merupakan salah satu aktivitas perbankan yang memiliki risiko disebabkan oleh adanya ketidakmampuan peminjam untuk melunasi kewajibannya kepada pihak bank. Besarnya risiko pembiayaan ditunjukkan dalam rasio Non Performing Finance (NPF). Tingginya NPF menunjukkan banyaknya jumlah peminjam yang tidak dapat mengembalikan pinjaman sesuai dengan perjanjian awal yang telah disepakati bersama antara bank dengan peminjam. Pembiayaan dengan kolektibilitas kurang lancar, diragukan, dan macet termasuk dalam NPF. Semakin besar NPF menunjukkan semakin tinggi tingkat pembiayaan bermasalah, sehingga mengakibatkan turunnya pendapatan yang berpengaruh pada kinerja, tingkat kesehatan, dan kelangsungan bank.
Risiko pembiayaan perlu dikendalikan. Kegiatan pembiayaan dan pengendalian risiko hendaknya diantisipasi oleh kualitas sistem manajemen risiko pembiayaan yang baik. Identifikasi dan analisis manajemen risiko pembiayaan sangat penting dan berguna sebagai input alternatif manajerial terhadap berbagai kemungkinan terjadinya risiko pembiayaan.
B.     Bank Syariah
Bank Islam adalah lembaga keuangan atau perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum atau syariah Islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariah Islam (Siamat, 2004).
Menurut Karim (2003), dalam kegiatan operasionalnya, bank syariah melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menerima simpanan, memberikan pinjaman, dan memberikan pelayanan jasa dengan berlandaskan prinsip syariah. Baraba dalam Darajat (2007), menambahkan satu fungsi bank syariah, yaitu sebagai pengelola fungsi sosial seperti pengelolaan dana zakat dan penerimaan serta penyaluran dana kebajikan.
Menurut Muhammad dalam Darajat (2007), hal-hal yang harus dilakukan bank syariah dalam menjalankan operasionalnya adalah dengan cara menjauhkan diri dari praktik-praktik yang memiliki unsur riba serta menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan. Unsur riba tersebut dihindari dengan cara:
1)      Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan keberhasilan suatu usaha di muka secara pasti.
2)      Menghindari penggunaan sistem presentasi untuk pembebanan biaya terhadap utang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis utang atau simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu.
3)      Menghindari penggunaan sistem perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas.
4)      Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela.
Hal lain yang membedakan bank syariah dengan bank konvesional terlihat dari beberapa aspek, yaitu aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja (Antonio, 2001).
a)      Akad dan Aspek Legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi baik duniawi maupun ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Setiap akad dalam bank syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad seperti hal­hal berikut:
·         Rukun, mencakup penjual, pembeli, barang yang dipertukarkan, harga, dan akad (ijab kabul).
·         Syarat, seperti:
1)        Barang dan jasa bersifat halal, sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
2)        Harga barang dan jasa harus jelas.
3)        Tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
4)        Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan, tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki dan dikuasai.
b)      Struktur Organisasi
Unsur yang paling membedakan antara bank syariah dengan bank konvensional adalah adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada bank syariah, yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. DPS biasanya diletakkan pada posisi setingkat dewan komisaris pada setiap bank. Hal ini bertujuan untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh DPS. Oleh karena itu, biasanya penetapan anggota DPS dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota DPS tersebut mendapatkan rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
c)      Bisnis dan Usaha yang Dibiayai
Bank syariah tidak mungkin membiayai usaha yang terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan. Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut: Apakah objek pembiayaan itu halal atau haram? Apakah proyek menimbulkan kerugian bagi masyarakat? Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan asusila? (Antonio, 2001).
d)     Lingkungan Kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah, antara lain sikap amanah dan shiddiq yang baik. Di samping itu, karyawan bank syariah harus memiliki skill yang baik dan profesional, dan tabhligh. Dalam reward dan dan punishment pun juga diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan prinsip syariah. Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan juga harus mengikuti syariat Islam (Antonio, 2001).
C.    Pembiayaan Bank Syariah
Menurut UU No.7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Bank Indonesia (2007), menyebutkan bahwa pembiayaan syariah mengandung beberapa nilai dasar dalam pelaksanaannya, yaitu:
1.      Keadilan, pembiayaan saling menguntungkan baik pihak yang menggunakan dana maupun pihak yang menyediakan dana.
2.      Kepercayaan, merupakan landasan dalam menentukan persetujuan pembiayaan baik dalam menghitung margin keuntungan maupun bagi hasil yang menyertai pembiayaan tersebut.
Jenis-Jenis Pembiayaan
Jenis-jenis pembiayaan pada bank syariah, yaitu (Karim, 2003):
1.      Pembiayaan Modal Kerja Syariah.
Adalah pembiayaan jangka pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
2.      Pembiayaan Investasi Syariah
Adalah pembiayaan jangka menengah atau jangka panjang untuk pembelian barang-barang modal yang diperlukan untuk:
a.       Pendirian proyek baru, yaitu pendirian atau pembangunan proyek atau pabrik dalam rangka usaha baru.
b.      Rehabilitasi, yaitu penggantian mesin atau peralatan lama yang sudah rusak dengan mesin atau peralatan baru yang lebih baik.
c.       Modernisasi, yaitu penggantian secara keseluruhan mesin atau peralatan lama dengan mesin atau peralatan baru dengan teknologi yang lebih baik.
d.      Relokasi proyek yang sudah ada, yaitu pemindahan lokasi proyek atau pabrik secara keseluruhan (termasuk sarana penunjang pabrik, seperti laboratorium).
3. Pembiayaan Konsumsi Syariah
Adalah pembiayaan yang bertujuan memenuhi kebutuhan nasabah baik barang maupun jasa yang tidak dipergunakan untuk tujuan usaha dan umumnya bersifat perorangan.
Produk Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Jual Beli
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayaran dan waktu penyerahan barangnya, yaitu :
F Murabahah
Adalah perjanjian jual beli antara bank dan nasabah dimana bank syariah membeli barang yang diperlukan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan dengan margin atau keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Secara istilah, ada banyak definisi yang muncul di antaranya:
1.      Murabahah adalah menyebutkan harga pokok barang si pembeli dengan harapan agar si pembeli memberikan keuntungan kepada si penjual.
2.      Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati
3.      Murabahah adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Sedangkan para ulama kontemporer dan peneliti ekonomi islam memberikan sedikit definisi yang berbeda. Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:
1.      Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).
2.      Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
3.      Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.
Nama lain Jual Beli Murabahah di antaranya, al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’, al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’, Bai’ al-Muwa’adah, al-Murabahah al-Mashrafiyah, al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah. Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP).
Bentuk Gambaran Murabahah dalam Praktek
Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat di dunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1.      Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya dimuka. Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya.
2.       Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
·         Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka.
·         Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
3.      Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya.
Operasional Murabahah
Produk murabahah adalah pembiayaan perbankan syariah dengan memakai prinsip jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak bank selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, atau sebagai dana talangan. Karakteristiknya adalah penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Pembayaran dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan kesepakatan bersama.
Bila dilihat sekilas, terdapat persamaan jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumtif. Persamaannya antara lain, pembiayaan yang diberikan adalah barang (motor, mobil, dll.)/bukan uang, dan pembayarannya secara cicilan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam sesuai dengan fatwa DSN MUI, karakteristiknya berbeda. Terdapat beberapa perbedaan utama antara jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumen. 
1.      Perbedaan pertama, harga jual pembiayaan konsumen biasanya memakai tingkat bunga yang tergantung situasi pasar, sedangkan margin/tingkat keuntungan murabahah (bila sudah terjadi ijab kabul) bersifat tetap, sehingga harga jual tidak boleh berubah.
2.      Perbedaan kedua, akad murabahah adalah akad jual beli, sehingga diwajibkan adanya suatu barang yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan tersebut berupa harta yang jelas harganya, seperti mobil atau motor. Sedangkan akad pembiayaan konsumen adalah akad pinjam meminjam. Dalam hal ini belum tentu ada barangnya.
3.      Perbedaan ketiga, dalam hal utang nasabah. Dalam jual beli murabahah, utang nasabah adalah sebesar harga jual. Harga jual adalah harga perolehan/pembelian barang ditambah keuntungan yang disepakati. Apabila nasabah mengangsur utangnya, utang nasabah itu akan berkurang sebesar pembayaran angsuran yang dilakukan, jadi tidak membedakan lagi unsur pokok dan keuntungan. Sedangkan pada pembiayaan konsumen, utang nasabah adalah sebesar pokok kredit ditambah dengan bunga. Bila dibayar secara angsuran, utang nasabah akan berkurang sebesar pembayaran angsuran pokok kredit dan pembayaran bunga. Jadi, dalam pembiayaan konsumen dikenal adanya utang pokok dan hutang bunga.
Risiko Pembiayaan Murabahah
Risiko yang timbul dari pembiayaan murabahah, diantaranya:
-        Default atau kelalaian diakibatkan oleh nasabah yang tidak membayar angsuran dengan sengaja.
-        Penundaan kewajiban pembayaran pada waktu jatuh tempo yang disebabkan oleh ketidakmampuan nasabah menimbulkan kerugian bagi bank, karena bank tidak diperbolehkan menerima tambahan pendapatan dari keterlambatan tersebut melainkan menunggu hingga nasabah mampu membayar angsurannya.
-        Fluktuasi harga komparatif.
-        Penolakan nasabah terhadap barang yang dibeli karena rusak atau tidak sesuai dengan spesifikasi dari permintaan nasabah.
-        Nasabah menolak membeli barang setelah mengambil penguasaan sebagai wakil.
-        Nasabah tidak melakukan pembelian aset/barang baru; nasabah telah melakukan pembelian dan sekarang menginginkan dana untuk pembayaran kepada pemasok; nasabah melibatkan Ba’I al’Inah sehingga tidak sesuai dengan syariah.
-        Barang/aset telah digunakan oleh nasabah sebelum penawaran dan penerimaan; barang/aset tidak ada ketika murabahah dilakukan sehingga tidak sesuai syariah.
-        Dalam perjalannya, risiko kehancuran barang sebelum penawaran dan penerimaan tanpa kelalaian wakil.
-        Keterlambatan.
-        Risiko kegagalan.
-        Pemasok mungkin tidak memenuhi kewajibannya.
-        Pembelian dari atau penjualan kembali ke rekanan atau perusahaan subside.
Alat Pengurangan Risiko Pembiayaan Murabahah
Alat/cara yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko dalam pembiayaan murabahah diantaranya:
-        Janji untuk membeli barang bisa diminta ke nasabah. Selain itu, Hamish Jiddiyah dapat digunakan, yang darinya bank bisa menutup kerugian aktual.
-        Melakukan pembayaran langsung kepada pemasok DD/PO.
-        Mendapatkan tagihan atas barang yang dibeli. Tanggal tagihan harus tidak lebih awal dari tanggal perjanjian perwakilan dan tidak lebih lama dari pernyataan atau penawaran pembelian.
-        Sebagai tambahan atas tagihan, perolehan bukti lain, seperti tiket gerbang, buku catatan persedian, resi truk.
-        Pengurangan interval waktu ketika penawaran akan dilakukan secara periodic; pemeriksaan fisik atas barang secara acak.
-        Selama perjalanan, barang dimiliki oleh bank dan semua risikonya ditanggung oleh bank. Risiko ini dapat dikurangi dengan menggunakan perlindungan takaful.
-        Upaya dari nasabah diminta untuk memberikan suatu jumlah tertentu untuk sosial dalam kasus keterlambatan pembayaran.
-        Jaminan/agunan dapat diminta untuk menutupi kerugian.
-        Wakil dalam kapasitas pribadinya, dapat menjamin kinerja pemasok.
-        Dapat informasi pihak terkait dari laporan keuangan perusahaan atau melalui sumber lain.
F Salam
Menurut UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan akad salam adalah akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati. Salam Paralel berarti melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Banyak orang yang menyamakan ba’i as-salam dengan ijon, padahal terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Dalam ijon barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan harga beli, sangat bergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang sering kali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah.
Adapun transaksi ba’i as-salam mengharuskan adanya dua hal berikut.
1.      Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas.
2.      Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak.
Tujuan salam yaitu dilakukan karena pembeli berniat memberikan modal kerja terlebih dahulu untuk memungkinkan penjual (produsen) memproduksi barangnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian salam adalah perjanjian jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran harga terlebih dahulu. Dalan transaksi ini, kualitas, kuantitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Manfaat bai’as-salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli. Adapun manfaat lain bagi bank sebagai berikut.
·         sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dalam rangka memperoleh barang tertentu sesuai kebutuhan nasabah akhir.
·         memperoleh peluang untuk mendapatkan keuntungan apabila harga pasar barang tersebut pada saat diserahkan ke bank lebih tinggi daripada jumlah pembiayaan yang diberikan.
·         memperoleh pendapatan dalam bentuk margin atas transaksi pembayaran barang ketika diserahkan kepada nasabah akhir
Resiko Pembiayaan Salam
Resiko yang timbul dari pembiayaan salam, diantaranya:
a.       Risiko pihak lawan dan penyerahan
-        Karena barang dalam salam dibayar di muka, nasabah dapat lalai setelah menerima pembayaran.
-        Dalam kasus barang yang berbeda dan konsinyasi, mungkin terdapat perselisihan mengenai harga, kuantitas dan kualitas.
-        Barang-barang yang cacat dapat pula diserahkan.
-        Barang-barang dapat diserahkan terlambat.
b.      Komoditas (risiko harga)
-        Karena sifat dasar kontrak (akad) salam adalah pembelian atas barang di muka, harga komoditas bisa lebih rendah dari harga pasar atau harga yang tadinya diharapkan/dianggap sesuai dengan harga pasar pada saat penyerahan.
c.       Komoditas (risiko pemasaran)
-        Bank mungkin tidak dapat memasukkan barang secara tepat waktu sehingga mengakibatkan kerugian aset dan penguncian dana dalam barang tersebut.
d.      Risiko penahanan aset
-        Bank islami harus menerima barang dan menanggung biaya penahanan hingga waktu penyerahan.
e.       Kemungkinan penghentian dari awal
-        Nasabah mungkin akan mengembalikan uang dan menolak pemasokan atas barang-barang.
f.       Salam parallel
-        Penjual asli mungkin tidak akan diselesaikan pada waktu yang telah ditetapkan; pembeli dalam salam parallel dapat menuntut bank untuk pemasokan yang tepat waktu.
Alat Pengurangan Risiko dalam Pembiayaan Salam
Alat/cara yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko dalam pembiayaan salam diantaranya:
a.       Risiko pihak lawan dan penyerahan
-        Bank dapat mencairkan jaminan dan dapat membeli barang yang sama dari pasar.
-        Dalam MoU salam, waktu, kualitas, kuantitas dan waktu masing-masing komoditas harus dilakukan.
-        Jaminan/keamanan dan obligasi kinerja dapat diambil untuk mengurangi kerugian.
-        Klausal sanksi dapat dimasukkan ke dalam kontrak (akad) sebagai pencegahan atas penyerahan yang terlambat. Jumlah sanksi akan diserahkan ke rekening amal.
b.      Komoditas (risiko harga)
ü  Bank dapat menjalankan salam parallel dan dapat pula mendapatkan janji membeli dari pihak ketiga.
c.       Komoditas (risiko pembayaran)
ü  Bank seharusnya hanya membeli barang yang memiliki potensi untuk dipasarkan dan mengambil janji yang mengikat dari pembeli yang prospektif beserta sejumlah Hamish Jiddiyah yang mencukupi. Menjadikan penjual salam sebagai wakil bank untuk menjual barang adalah alat pengurangan risiko yang baik pula.
d.      Risiko penahanan aset
ü  Biaya ini dapat ditutupi dalam transaksi parallel dengan survei pasar yang tepat, fisibilitas dan studi praktik pada pedagang di daerah yang relevan.
e.       Kemungkinan penghentian lebih awal
ü  Salam adalah kontrak (akad) yang mengikat; penjual tidak dapat secara unilateral mengakhiri kontrak (akad). Sanksi dapat dimasukkan ke dalam kontrak (akad) untuk menghalangi praktik yang demikian; uang dari sanksi ini akan dimasukkan ke rekening amal.
f.       Salam parallel
ü  Bank dapat membeli aset serupa dari pasar spot untuk pemasokan kepada pembeli dan menutup kerugian yang terjadi, jika ada, dari penjual dalam salam yang awal.
F Istishna
Transaksi ba’i istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pemembeli dan pembuat barang. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnyakepada pembeli akhir. Menurut jumhur fuqaha, ba’i istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akdad ba’i asalam.
Dalam fatwa DSN-MUI, jual-beli istishna adalah akad jual beli dlam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan pesyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).
Padadasarnya pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan seperti transaksi murabahah. Hanya saja berbeda dengan murabahah dimana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli istishna’ barang disaerahkan di belakang, walaupun uangnya sama-sama dibayar secara cicil juga.
Dapat disimpulkan di sini bahwa al-istisna' adalah perjanjian jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual atau merupakan jual beli yang mana seseorang pembeli membuat tempahan sesuatu barang seperti baju, kereta, perabot, dan sebagainya kepada pihak lain. Jual beli ini hukumnya harus.
Tujuan Istishna’
Pembiayaan dengan akad Istishna’ ini bertujuan untuk mempermudah nasabah dalam melakukan jual beli terutama dalam hal manufaktur yang mana membutuhkan biaya besar, sedangkan nasabah/ pembeli tidak cukup memiliki biaya. Sehingga pihak pemberi biaya memberikan kemudahan dalam pembiayaan nasabah kepada penjual.
Manfaat Penggunaan Akad Istishna’
Manfaat ba’i istishna’ sama dengan ba’i salam, karena pada hakekatnya sama. Dan manfaat yang diperoleh dari ba’i istishna’ yaitu memperoleh selisih haraga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli.
Resiko Pembiayaan Istishna
Resiko yang timbul dari pembiayaan istishna, diantaranya:
a.       Kepemilikan bahan
ü  Bank islami bukanlah pemilik bahan yang berada dalam kepemilikan pemanafaktur guna memproduksi aset. Ia tidak memiliki hak atasnya bila terjadi kasus kelalaian pemenuhan kinerja.
b.      Risiko penyerahan
ü  Bank mungkin tidak mampu menyelesaikan proses memanufaktur barang seperti yang telah dijadwalkan karena keterlambatan penyerahan barang jadi oleh sub kontraktor dalam istishna parallel.
c.       Jual beli tidak diperbolehkan sebelum penyerahan
ü  Jual beli barang istishna tidak diperbolehkan sebelum mengambil kepemilikan fisik. Hal ini dapat menimbulkan ke risiko aset, harga dan pemasaran.
d.      Risiko kualitas
ü  Bank islami mendapatkan penyerahan barang yang dimanufaktur dengan kualitas inferior, yang dapat pula memengaruhi kontrak (akad) awal.
Alat Pengurangan Risiko dalam Pembiayaan Istishna
Alat/cara yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko dalam pembiayaan istishna diantaranya:
a.       Kepemilikan bahan
ü  Jaminan tersedia bagi bank.
b.      Risiko penyerahan
ü  Dengan berbasiskan peraturan “Syart al-Jazai”, bank dapat menambahkan klausal untuk mengurangi harga istishna dalam kasus keterlambatan ke dalam perjanjian istishna.
c.       Jual beli tidak diperbolehkan sebelum penyerahan
ü  Bank bisa mendapatkan “janji untuk membeli” dari pihak ketiga dan dapat mengatur jual beli melalui wakil.
d.      Risiko kualitas
ü  Bank dapat memperoleh jaminan kualitas dari pemasok awal.
F Ijarah
Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).
Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi. Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.
Berdasarkan hal itu, menyewakan pohon agar dimanfaatkan buahnya hukumnya tidak sah karena pohon itu sendiri bukan keuntungan atau manfaat. Demikian juga menyewakan dua jenis mata uang (emas dan perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Alasannya semua jenis barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan mengkonsumsi bagian dari barang tersebut. Hukum sewa juga diberlakukan atas sapi, domba atau unta untuk diambil susunya. Akad sewa mengharuskan penggunaan manfaat dan bukan barang itu sendiri.
Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Kadangkala dalam bentuk karya seperti karya seorang arsitek, tukang tenun, penjahit.
Apabila akad sewa diputuskan, penyewa sudah memliki hak atas manfaat dan pihak yang menyewakan berhak mengambil kompensasi sebab sewa adalah akad mu’awwadhah timbal balik.
Fitur dan Mekanisme Ijarah
1.      Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), yaitu memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir);dan mengakhiri akad Ijarah dan menarik objek Ijarah apabila penyewa tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
2.      Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
a)      menyediakan objek ijarah yang disewakan;
b)      menanggung biaya pemeliharaan objek ijarah;        
c)      menjamin objek ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik.
3.      Hak penyewa (musta’jir), antara lain meliputi:
a)      menerima objek ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan;
b)      menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan.
4.      Kewajiban penyewa antara lain meliputi:
a)      membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan;
b)      mengembalikan objek iajrah apabila tidak mampu membayar sewa;
c)      menjaga dan menggunakan objek ijarah sesuai yang diperjanjikan;\
d)     tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan objek ijarah kepada pihak lain.
Objek ijarah adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan, antara lain:
a)      objek ijarah merupakan milik dan/atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
b)      manfaat objek ijarah harus dapat dinilai;
c)      manfaat objek ijarah harus dapat diserahkan penyewa (musta’jir);
d)     pemanfaatan objek ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak diharamkan);
e)      manfaat objek ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas;
f)       spesifikasi objek ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu pemanfaatannya.
Resiko Pembiayaan Ijarah
Resiko yang timbul dari pembiayaan ijarah, diantaranya:
-        Bank membeli aset sesuai dengan permintaan nasabah, tapi nasabah kemudian menolak menyewa aset tersebut.
-        Nasabah mungkin gagal dalam pembayaran uang sewa yang jatuh tempo. Bank mungkin tidak dapat menutup kerugian atas investasinya; aset kemudian ditarik kembali, tapi tidak mencakup kerugiannya.
-        Risiko aset dari pemeliharaan utama/kehancuran.
-        Penghentian dini dari perjanjian penyewaan.
-        Pihak penyewa bisa menggunakan aset tanpa berhati-hati sehingga menuntut bank menanggung pengeluaran pemeliharaan besar.
-        Risiko tingkat pengembalian karena adanya inflasi.
-        Penjualan aset pada saat jatuh tempo, nasabah bisa membelinya atau tidak.
Alat Pengurangan Risiko dalam Pembiayaan Ijarah
Alat/cara yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko dalam pembiayaan ijarah diantaranya:
-        Janji mengingat untuk menyewakan harus diminta dari nasabah pada saat pemesanan/pembelian aset oleh bank. Hamish Jiddiyah juga harus diminta dari nasabah. Bank dapat menjual aset di pasar terbuka dan kerugian aktualnya dapat tertutupi dari Hamish Jiddiyah.
-        Upaya nasabah untuk meminta membayar sejumlah uang untuk sosial dalam kasus keterlambatan pembayaran uang sewa harus diminta ke nasabah. Jumlah uang ini akan diberikan ke rekening sosial. kerugian aktual dapat ditutup dari Hamish Jiddiyah. Surat berharga/jaminan dapat pula diberikan.
-        Risiko ini dapat dikelola melalui fasilitas tafakul.
-        Dengan mengingat nilai pasar, bank dapat pula mengambil asetnya kembali dan menjualnya di pasar untuk mencairkan investasinya. Dalam kasus yang lebih berisiko, upaya pembelian aset pada jadwal harga yang telah di tetapkan dapat diminta dari nasabah.
-        Tanda kepercayaan harus diminta dari nasabah untuk mengikatnya untuk menggunakan aset sebagai walinya. Dapat pula disebutkan dalam tanda kepercayaan tersebut bahwa kerugian yang ditanggung oleh kelalaian nasabah akan ditanggung oleh nasabahnya sendiri.
-        Risiko ini dapat ditanggulangi dengan tingkat uang sewa mengambang yang dikaitkan dengan tolak ukur tertentu, yang diperbolehkan asalkan ada batas atas dan batas bawah tertentu.
-        Hanya aset yang dapat disewakan yang memiliki nilai jual kembali yang dapat bank jual di pasar. Kalau tidak, janji terpisah untuk membeli pada akhir periode penyewaaan dapat diminta dari nasabah.
-        Dalam hal barang yang disewakan adalah milik bank, ketiadaan nasabah akan  menimbulkan risiko tidak produktifnya asset ijarah.
-        Dalam hal barang yang disewakan adalah bukan milik bank, timbul risiko kerusakan barang diluar pemakaian normal.
-        Dalam hal jasa tenaga kerja yang disewakan bank kepada nasabah memungkinkan timbulnya risiko ketidaksesuaian nasabah terhadap performance pemberi jasa.
D.    Teknik Pengelolaan Risiko
Pada prinsipnya, terdapat empat teknik pengelolaan risiko secara klasik. Keempat teknik tersebut adalah penghindaran risiko, pengurangan risiko, pemindahan risiko, dan penanganan risiko (Djohanputro, 2004):
  1. Penghindaran Risiko
Penghindaran risiko adalah tindakan bank untuk tidak melakukan kegiatan tertentu yang mengandung risiko yang tidak diinginkan. Pada dasarnya, tidak ada manusia yang bisa menghindari risiko, demikian halnya dengan bank. Oleh karena itu, bank dapat menghindari beberapa risiko dengan tidak memasuki wilayah bisnis atau kegiatan tertentu. Hal terpenting adalah kemampuan bank melakukan studi dan identifikasi risiko.
  1. Pengurangan Risiko
Pengurangan risiko penting dilakukan oleh bank agar dapat menekan besarnya risiko. Teknik ini dapat dilakukan dengan cara pengurangan kemungkinan terjadinya peril (risiko yang menjadi kenyataan) atau menekan besarnya dampak bila peril terjadi.
  1. Pemindahan Risiko
Pemindahan atau pengalihan risiko dilakukan dengan cara memindahkan risiko dari satu pihak ke pihak lainnya dengan tujuan bisnis, seperti asuransi. Akibat pemindahan risiko menimbulkan biaya. Terdapat dua macam biaya yang ditanggung bank akibat mengalihkan risiko kepada pihak lain. Biaya berupa premi yang harus dibayarkan kepada pihak penanggung risiko dan biaya berupa hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dengan menanggung risiko.
  1. Penanganan Risiko
Penanganan terhadap risiko dilakukan karena dua sebab. Pertama, bank secara sadar ingin mempertahankan risiko dan mengelolanya sendiri. Dengan pertimbangan didasarkan atas efektivitas biaya dan selama manajemen memiliki kemampuan serta sumber daya untuk mengelola sehingga dapat memberikan hasil yang lebih tinggi dari risiko itu sendiri. Kedua, bank tidak mengetahui risiko tersebut sehingga risiko yang tidak teridentifikasi tidak akan dikelola.


Daftar Pustaka
Antonio, MS. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Dendawijaya, L. 2000. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Djohanputra, B. 2004. Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi. Jakarta: PPM.
Karim, A. 2003. Analisis Fiqih dan Keuangan Bank Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kountur, R. 2004. Manajemen Risiko. Jakarta: Abdi Tandur.
Muhammad Ayub. 2007. Understanding Islamic Finance. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar