RISIKO DAN KEUNGGULAN
PENGGUNAAN AKAD JUAL BELI DALAM KEUANGAN ISLAM
A.
Pendahuluan
Dunia
perbankan memegang peranan penting dalam stabilitas ekonomi. Hal ini dapat
dilihat ketika sektor ekonomi mengalami penurunan maka salah satu cara
mengembalikan stabilitas ekonomi adalah menata sektor perbankan. Sehingga
kebijakan pengembangan industri perbankan diarahkan untuk mencapai suatu sistem
perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem
keuangan yang pada gilirannya akan membantu mendorong perekonomian nasional
secara berkesinambungan.
Perbankan
Indonesia tidak hanya diisi oleh perbankan konvensional saja. Terdapat pula
perbankan syariah yang sejak tahun 1992 telah memainkan perannya di dunia
perbankan Indonesia. Bank syariah adalah bank yang tata cara dan operasinya
mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam dengan prinsip yang berorientasi
produktif, berlandaskan keadilan, dan mengembangkan investasi yang halal dalam
perbaikan kesejahteraan masyarakat (Karim, 2003).
Di
samping itu, fungsi bank sebagai lembaga keuangan untuk menyalurkan dana kepada
peminjam yang membutuhkan dalam bentuk pembiayaan dan semakin kompleksnya
kebutuhan pendanaan baik yang bersifat modal, investasi maupun konsumsi dari
masyarakat dan korporasi mengakibatkan pembiayaan perbankan syariah pun semakin
berkembang.
Dari
kegiatan pembiayaan ini, semakin banyak dana yang disalurkan maka potensi
timbulnya risiko pun semakin besar. Hal ini karena pembiayaan merupakan salah
satu aktivitas perbankan yang memiliki risiko disebabkan oleh adanya
ketidakmampuan peminjam untuk melunasi kewajibannya kepada pihak bank. Besarnya
risiko pembiayaan ditunjukkan dalam rasio Non Performing Finance (NPF).
Tingginya NPF menunjukkan banyaknya jumlah peminjam yang tidak dapat mengembalikan
pinjaman sesuai dengan perjanjian awal yang telah disepakati bersama antara
bank dengan peminjam. Pembiayaan dengan kolektibilitas kurang lancar,
diragukan, dan macet termasuk dalam NPF. Semakin besar NPF menunjukkan semakin
tinggi tingkat pembiayaan bermasalah, sehingga mengakibatkan turunnya
pendapatan yang berpengaruh pada kinerja, tingkat kesehatan, dan kelangsungan
bank.
Risiko
pembiayaan perlu dikendalikan. Kegiatan pembiayaan dan pengendalian risiko
hendaknya diantisipasi oleh kualitas sistem manajemen risiko pembiayaan yang
baik. Identifikasi dan analisis manajemen risiko pembiayaan sangat penting dan
berguna sebagai input alternatif manajerial terhadap berbagai kemungkinan
terjadinya risiko pembiayaan.
B.
Bank Syariah
Bank
Islam adalah lembaga keuangan atau perbankan yang operasional dan produknya
dikembangkan berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum atau syariah Islam dengan
mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, bank syariah
adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa
lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya
disesuaikan dengan prinsip syariah Islam (Siamat, 2004).
Menurut
Karim (2003), dalam kegiatan operasionalnya, bank syariah melaksanakan tiga fungsi
utama yaitu menerima simpanan, memberikan pinjaman, dan memberikan pelayanan
jasa dengan berlandaskan prinsip syariah. Baraba dalam Darajat (2007),
menambahkan satu fungsi bank syariah, yaitu sebagai pengelola fungsi sosial
seperti pengelolaan dana zakat dan penerimaan serta penyaluran dana kebajikan.
Menurut
Muhammad dalam Darajat (2007), hal-hal yang harus dilakukan bank syariah dalam
menjalankan operasionalnya adalah dengan cara menjauhkan diri dari
praktik-praktik yang memiliki unsur riba serta menerapkan sistem bagi hasil dan
perdagangan. Unsur riba tersebut dihindari dengan cara:
1)
Menghindari penggunaan sistem
yang menetapkan keberhasilan suatu usaha di muka secara pasti.
2)
Menghindari penggunaan sistem
presentasi untuk pembebanan biaya terhadap utang atau pemberian imbalan
terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis utang
atau simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu.
3)
Menghindari penggunaan sistem
perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya
dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas.
4)
Menghindari penggunaan sistem
yang menetapkan di muka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang
mempunyai utang secara sukarela.
Hal lain
yang membedakan bank syariah dengan bank konvesional terlihat dari beberapa
aspek, yaitu aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan
lingkungan kerja (Antonio, 2001).
a)
Akad dan Aspek Legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki
konsekuensi baik duniawi maupun ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam. Setiap akad dalam bank syariah, baik dalam hal barang, pelaku
transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad seperti halhal
berikut:
·
Rukun, mencakup penjual, pembeli,
barang yang dipertukarkan, harga, dan akad (ijab kabul).
·
Syarat, seperti:
1)
Barang dan jasa bersifat halal,
sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum
syariah.
2)
Harga barang dan jasa harus
jelas.
3)
Tempat penyerahan harus jelas
karena akan berdampak pada biaya transportasi.
4)
Barang yang ditransaksikan harus
sepenuhnya dalam kepemilikan, tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki
dan dikuasai.
b)
Struktur Organisasi
Unsur yang paling membedakan antara bank syariah
dengan bank konvensional adalah adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada bank
syariah, yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar
sesuai dengan garis-garis syariah. DPS biasanya diletakkan pada posisi
setingkat dewan komisaris pada setiap bank. Hal ini bertujuan untuk menjamin
efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh DPS. Oleh karena itu,
biasanya penetapan anggota DPS dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham,
setelah para anggota DPS tersebut mendapatkan rekomendasi dari Dewan Syariah
Nasional.
c)
Bisnis dan Usaha yang Dibiayai
Bank syariah tidak mungkin membiayai usaha yang
terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan. Dalam perbankan syariah suatu
pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok,
diantaranya sebagai berikut: Apakah objek pembiayaan itu halal atau haram?
Apakah proyek menimbulkan kerugian bagi masyarakat? Apakah proyek berkaitan
dengan perbuatan asusila? (Antonio, 2001).
d)
Lingkungan Kerja dan Corporate
Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan
kerja yang sejalan dengan syariah, antara lain sikap amanah dan shiddiq yang
baik. Di samping itu, karyawan bank syariah harus memiliki skill yang baik dan
profesional, dan tabhligh. Dalam reward dan dan punishment pun juga diperlukan
prinsip keadilan yang sesuai dengan prinsip syariah. Selain itu, cara
berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan juga harus mengikuti syariat
Islam (Antonio, 2001).
C.
Pembiayaan Bank Syariah
Menurut
UU No.7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998,
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan
uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau
bagi hasil.
Bank
Indonesia (2007), menyebutkan bahwa pembiayaan syariah mengandung beberapa
nilai dasar dalam pelaksanaannya, yaitu:
1.
Keadilan, pembiayaan saling
menguntungkan baik pihak yang menggunakan dana maupun pihak yang menyediakan
dana.
2.
Kepercayaan, merupakan landasan
dalam menentukan persetujuan pembiayaan baik dalam menghitung margin keuntungan
maupun bagi hasil yang menyertai pembiayaan tersebut.
Jenis-Jenis
Pembiayaan
Jenis-jenis pembiayaan pada bank syariah, yaitu
(Karim, 2003):
1.
Pembiayaan Modal
Kerja Syariah.
Adalah pembiayaan jangka pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk
membiayai kebutuhan modal kerja usahanya berdasarkan
prinsip-prinsip syariah.
2.
Pembiayaan
Investasi Syariah
Adalah pembiayaan jangka menengah atau jangka panjang untuk pembelian barang-barang
modal yang diperlukan untuk:
a.
Pendirian proyek
baru, yaitu pendirian atau pembangunan proyek atau pabrik dalam rangka usaha
baru.
b.
Rehabilitasi,
yaitu penggantian mesin atau peralatan lama yang sudah rusak dengan mesin atau
peralatan baru yang lebih baik.
c.
Modernisasi, yaitu penggantian secara keseluruhan mesin atau peralatan lama dengan mesin
atau peralatan baru dengan teknologi yang
lebih baik.
d.
Relokasi proyek
yang sudah ada, yaitu pemindahan lokasi proyek
atau pabrik secara keseluruhan (termasuk sarana penunjang pabrik,
seperti laboratorium).
3. Pembiayaan Konsumsi Syariah
Adalah pembiayaan yang bertujuan memenuhi kebutuhan nasabah baik barang maupun jasa
yang tidak dipergunakan untuk tujuan
usaha dan umumnya bersifat perorangan.
Produk Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Jual Beli
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan
adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan di
depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli
dibedakan berdasarkan bentuk pembayaran dan waktu penyerahan barangnya, yaitu :
F Murabahah
Adalah perjanjian jual beli antara bank
dan nasabah dimana bank syariah membeli
barang yang diperlukan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kepada
nasabah yang bersangkutan dengan margin atau
keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Kata al-Murabahah diambil
dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan
(keuntungan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli
dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Secara istilah, ada banyak
definisi yang muncul di antaranya:
1. Murabahah adalah menyebutkan harga pokok barang si
pembeli dengan harapan agar si pembeli memberikan keuntungan kepada si penjual.
2. Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang disepakati
3. Murabahah adalah menjual barang dengan harga (modal) nya
yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan
yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus
ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Sedangkan para ulama kontemporer dan peneliti ekonomi islam
memberikan sedikit definisi yang berbeda. Diantara definisi yang disampaikan
mereka adalah:
1. Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang
bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta
pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau
sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia
pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).
2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar
lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah)
atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan
tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya.
Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan
(profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
3. Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual,
pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama
(pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali
setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.
Nama lain Jual Beli Murabahah di
antaranya, al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’, al-Murabahah lil Wa’id bi
Asy-Syira’, Bai’ al-Muwa’adah, al-Murabahah al-Mashrafiyah, al-Muwaa’adah ‘Ala
al-Murabahah. Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah
atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP).
Bentuk
Gambaran Murabahah dalam Praktek
Dari definisi diatas dan praktek yang ada di
lingkungan lembaga keuangan syariat di dunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1. Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan
antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya
dengan menyebutkan nilai keuntungannya dimuka. Hal itu dengan datangnya nasabah
kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan
sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat
untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga
keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah
dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan
keuntungannya.
2. Pelaksanaan
janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak. Hal itu
dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke
lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah untuk
membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap
kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada kedua belah
pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
·
Pelaksanaan janji
tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka.
·
Pelaksanaan janji
tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
3. Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa
nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu
dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah
sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk
menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya.
Operasional
Murabahah
Produk murabahah adalah pembiayaan
perbankan syariah dengan memakai prinsip jual-beli barang pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak bank selaku penjual
dan nasabah selaku pembeli, atau sebagai dana talangan. Karakteristiknya adalah
penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai tambahannya. Pembayaran dapat dilakukan secara angsuran
sesuai dengan kesepakatan bersama.
Bila dilihat sekilas, terdapat persamaan jual
beli murabahah dengan pembiayaan konsumtif. Persamaannya
antara lain, pembiayaan yang diberikan adalah barang (motor, mobil, dll.)/bukan
uang, dan pembayarannya secara cicilan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam
sesuai dengan fatwa DSN MUI, karakteristiknya berbeda. Terdapat beberapa
perbedaan utama antara jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumen.
1. Perbedaan pertama, harga jual pembiayaan konsumen biasanya memakai tingkat bunga yang
tergantung situasi pasar, sedangkan margin/tingkat keuntungan murabahah (bila
sudah terjadi ijab kabul) bersifat tetap, sehingga harga jual tidak boleh
berubah.
2. Perbedaan kedua,
akad murabahah adalah akad jual beli, sehingga diwajibkan
adanya suatu barang yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan
tersebut berupa harta yang jelas harganya, seperti mobil atau motor. Sedangkan
akad pembiayaan konsumen adalah akad pinjam meminjam. Dalam hal ini belum tentu
ada barangnya.
3. Perbedaan ketiga, dalam hal utang nasabah. Dalam jual beli murabahah, utang
nasabah adalah sebesar harga jual. Harga jual adalah harga perolehan/pembelian
barang ditambah keuntungan yang disepakati. Apabila nasabah mengangsur
utangnya, utang nasabah itu akan berkurang sebesar pembayaran angsuran yang
dilakukan, jadi tidak membedakan lagi unsur pokok dan keuntungan. Sedangkan
pada pembiayaan konsumen, utang nasabah adalah sebesar pokok kredit ditambah
dengan bunga. Bila dibayar secara angsuran, utang nasabah akan berkurang
sebesar pembayaran angsuran pokok kredit dan pembayaran bunga. Jadi, dalam
pembiayaan konsumen dikenal adanya utang pokok dan hutang bunga.
Risiko
Pembiayaan Murabahah
Risiko yang timbul dari pembiayaan murabahah, diantaranya:
-
Default atau
kelalaian diakibatkan oleh nasabah yang tidak membayar angsuran dengan sengaja.
-
Penundaan
kewajiban pembayaran pada waktu jatuh tempo yang disebabkan oleh ketidakmampuan
nasabah menimbulkan kerugian bagi bank, karena bank tidak diperbolehkan
menerima tambahan pendapatan dari keterlambatan
tersebut melainkan menunggu hingga nasabah mampu membayar angsurannya.
-
Fluktuasi harga komparatif.
-
Penolakan nasabah terhadap barang yang dibeli karena rusak atau tidak sesuai dengan spesifikasi
dari permintaan nasabah.
-
Nasabah menolak
membeli barang setelah mengambil penguasaan sebagai wakil.
-
Nasabah tidak
melakukan pembelian aset/barang baru; nasabah telah melakukan pembelian dan
sekarang menginginkan dana untuk pembayaran kepada pemasok; nasabah melibatkan
Ba’I al’Inah sehingga tidak sesuai dengan syariah.
-
Barang/aset telah
digunakan oleh nasabah sebelum penawaran dan penerimaan; barang/aset tidak ada
ketika murabahah dilakukan sehingga tidak sesuai syariah.
-
Dalam
perjalannya, risiko kehancuran barang sebelum penawaran dan penerimaan tanpa
kelalaian wakil.
-
Keterlambatan.
-
Risiko kegagalan.
-
Pemasok mungkin
tidak memenuhi kewajibannya.
-
Pembelian dari atau penjualan kembali ke rekanan atau perusahaan
subside.
Alat Pengurangan Risiko Pembiayaan Murabahah
Alat/cara yang
dapat digunakan untuk mengurangi risiko dalam pembiayaan murabahah diantaranya:
-
Janji untuk membeli barang bisa diminta ke nasabah. Selain itu, Hamish
Jiddiyah dapat digunakan, yang darinya bank bisa menutup kerugian aktual.
-
Melakukan pembayaran langsung kepada pemasok DD/PO.
-
Mendapatkan tagihan atas barang yang dibeli. Tanggal tagihan harus
tidak lebih awal dari tanggal perjanjian perwakilan dan tidak lebih lama dari
pernyataan atau penawaran pembelian.
-
Sebagai tambahan atas tagihan, perolehan bukti lain, seperti tiket
gerbang, buku catatan persedian, resi truk.
-
Pengurangan interval waktu ketika penawaran akan dilakukan secara periodic;
pemeriksaan fisik atas barang secara acak.
-
Selama perjalanan, barang dimiliki oleh bank dan semua risikonya
ditanggung oleh bank. Risiko ini dapat dikurangi dengan menggunakan
perlindungan takaful.
-
Upaya dari nasabah diminta untuk memberikan suatu jumlah tertentu untuk
sosial dalam kasus keterlambatan pembayaran.
-
Jaminan/agunan dapat diminta untuk menutupi kerugian.
-
Wakil dalam kapasitas pribadinya, dapat menjamin kinerja pemasok.
-
Dapat informasi pihak terkait dari laporan keuangan perusahaan atau
melalui sumber lain.
F Salam
Menurut UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah yang dimaksud dengan akad salam adalah akad pembiayaan suatu
barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih
dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati. Salam Paralel berarti
melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan antara
bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Banyak orang yang menyamakan ba’i as-salam
dengan ijon, padahal terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Dalam ijon
barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik.
Demikian juga penetapan harga beli, sangat bergantung kepada keputusan sepihak
si tengkulak yang sering kali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya
lebih lemah.
Adapun transaksi ba’i as-salam mengharuskan
adanya dua hal berikut.
1. Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas.
2. Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak.
Tujuan salam yaitu dilakukan karena pembeli berniat
memberikan modal kerja terlebih dahulu untuk memungkinkan penjual (produsen) memproduksi
barangnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
pengertian salam adalah perjanjian
jual beli barang dengan cara pemesanan dengan
syarat-syarat tertentu dan pembayaran harga terlebih dahulu. Dalan transaksi
ini, kualitas, kuantitas, harga,
dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Manfaat bai’as-salam
adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada
pembeli. Adapun manfaat lain bagi bank sebagai berikut.
·
sebagai salah
satu bentuk penyaluran dana dalam rangka memperoleh barang tertentu sesuai
kebutuhan nasabah akhir.
·
memperoleh
peluang untuk mendapatkan keuntungan apabila harga pasar barang tersebut pada
saat diserahkan ke bank lebih tinggi daripada jumlah pembiayaan yang diberikan.
·
memperoleh pendapatan
dalam bentuk margin atas transaksi pembayaran barang ketika diserahkan kepada
nasabah akhir
Resiko
Pembiayaan Salam
Resiko yang timbul dari pembiayaan salam,
diantaranya:
a.
Risiko pihak
lawan dan penyerahan
-
Karena barang
dalam salam dibayar di muka, nasabah dapat lalai setelah menerima pembayaran.
-
Dalam kasus
barang yang berbeda dan konsinyasi, mungkin terdapat perselisihan mengenai
harga, kuantitas dan kualitas.
-
Barang-barang
yang cacat dapat pula diserahkan.
-
Barang-barang
dapat diserahkan terlambat.
b.
Komoditas (risiko
harga)
-
Karena sifat
dasar kontrak (akad) salam adalah pembelian atas barang di muka, harga
komoditas bisa lebih rendah dari harga pasar atau harga yang tadinya
diharapkan/dianggap sesuai dengan harga pasar pada saat penyerahan.
c.
Komoditas (risiko
pemasaran)
-
Bank mungkin
tidak dapat memasukkan barang secara tepat waktu sehingga mengakibatkan
kerugian aset dan penguncian dana dalam barang tersebut.
d.
Risiko penahanan
aset
-
Bank islami harus
menerima barang dan menanggung biaya penahanan hingga waktu penyerahan.
e.
Kemungkinan
penghentian dari awal
-
Nasabah mungkin
akan mengembalikan uang dan menolak pemasokan atas barang-barang.
f.
Salam parallel
-
Penjual asli
mungkin tidak akan diselesaikan pada waktu yang telah ditetapkan; pembeli dalam
salam parallel dapat menuntut bank untuk pemasokan yang tepat waktu.
Alat
Pengurangan Risiko dalam Pembiayaan Salam
Alat/cara yang
dapat digunakan untuk mengurangi risiko dalam pembiayaan salam diantaranya:
a.
Risiko pihak
lawan dan penyerahan
-
Bank dapat
mencairkan jaminan dan dapat membeli barang yang sama dari pasar.
-
Dalam MoU salam,
waktu, kualitas, kuantitas dan waktu masing-masing komoditas harus dilakukan.
-
Jaminan/keamanan
dan obligasi kinerja dapat diambil untuk mengurangi kerugian.
-
Klausal sanksi
dapat dimasukkan ke dalam kontrak (akad) sebagai pencegahan atas penyerahan
yang terlambat. Jumlah sanksi akan diserahkan ke rekening amal.
b.
Komoditas (risiko
harga)
ü
Bank dapat
menjalankan salam parallel dan dapat pula mendapatkan janji membeli dari pihak
ketiga.
c.
Komoditas (risiko
pembayaran)
ü
Bank seharusnya
hanya membeli barang yang memiliki potensi untuk dipasarkan dan mengambil janji
yang mengikat dari pembeli yang prospektif beserta sejumlah Hamish Jiddiyah
yang mencukupi. Menjadikan penjual salam sebagai wakil bank untuk menjual
barang adalah alat pengurangan risiko yang baik pula.
d.
Risiko penahanan
aset
ü
Biaya ini dapat
ditutupi dalam transaksi parallel dengan survei pasar yang tepat, fisibilitas
dan studi praktik pada pedagang di daerah yang relevan.
e.
Kemungkinan
penghentian lebih awal
ü
Salam adalah
kontrak (akad) yang mengikat; penjual tidak dapat secara unilateral mengakhiri
kontrak (akad). Sanksi dapat dimasukkan ke dalam kontrak (akad) untuk
menghalangi praktik yang demikian; uang dari sanksi ini akan dimasukkan ke
rekening amal.
f.
Salam parallel
ü
Bank dapat
membeli aset serupa dari pasar spot untuk pemasokan kepada pembeli dan menutup
kerugian yang terjadi, jika ada, dari penjual dalam salam yang awal.
F Istishna
Transaksi ba’i istishna’ merupakan kontrak
penjualan antara pemembeli dan pembuat barang. Pembuat barang lalu berusaha
melalui orang lain untuk membuat atau barang menurut spesifikasi yang telah
disepakati dan menjualnyakepada pembeli akhir. Menurut jumhur fuqaha, ba’i
istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akdad ba’i asalam.
Dalam fatwa DSN-MUI, jual-beli istishna
adalah akad jual beli dlam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan pesyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli,
mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).
Padadasarnya pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan seperti transaksi murabahah. Hanya saja berbeda dengan murabahah dimana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli istishna’ barang disaerahkan di belakang, walaupun uangnya sama-sama dibayar secara cicil juga.
Padadasarnya pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan seperti transaksi murabahah. Hanya saja berbeda dengan murabahah dimana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli istishna’ barang disaerahkan di belakang, walaupun uangnya sama-sama dibayar secara cicil juga.
Dapat disimpulkan di sini bahwa
al-istisna' adalah perjanjian jual beli
dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual atau merupakan jual
beli yang mana seseorang pembeli membuat tempahan sesuatu barang seperti baju,
kereta, perabot, dan sebagainya kepada pihak lain. Jual beli ini hukumnya
harus.
Tujuan Istishna’
Pembiayaan dengan akad Istishna’ ini
bertujuan untuk mempermudah nasabah dalam melakukan jual beli terutama dalam
hal manufaktur yang mana membutuhkan biaya besar, sedangkan nasabah/ pembeli
tidak cukup memiliki biaya. Sehingga pihak pemberi biaya memberikan kemudahan
dalam pembiayaan nasabah kepada penjual.
Manfaat Penggunaan Akad Istishna’
Manfaat ba’i istishna’ sama dengan ba’i
salam, karena pada hakekatnya sama. Dan manfaat yang diperoleh dari ba’i
istishna’ yaitu memperoleh selisih haraga yang didapat dari nasabah dengan
harga jual kepada pembeli.
Resiko
Pembiayaan Istishna
Resiko yang timbul dari pembiayaan
istishna, diantaranya:
a.
Kepemilikan bahan
ü
Bank islami
bukanlah pemilik bahan yang berada dalam kepemilikan pemanafaktur guna
memproduksi aset. Ia tidak memiliki hak atasnya bila terjadi kasus kelalaian
pemenuhan kinerja.
b.
Risiko penyerahan
ü
Bank mungkin
tidak mampu menyelesaikan proses memanufaktur barang seperti yang telah
dijadwalkan karena keterlambatan penyerahan barang jadi oleh sub kontraktor
dalam istishna parallel.
c.
Jual beli tidak
diperbolehkan sebelum penyerahan
ü
Jual beli barang
istishna tidak diperbolehkan sebelum mengambil kepemilikan fisik. Hal ini dapat
menimbulkan ke risiko aset, harga dan pemasaran.
d.
Risiko kualitas
ü
Bank islami
mendapatkan penyerahan barang yang dimanufaktur dengan kualitas inferior, yang dapat
pula memengaruhi kontrak (akad) awal.
Alat
Pengurangan Risiko dalam Pembiayaan Istishna
Alat/cara yang
dapat digunakan untuk mengurangi risiko dalam pembiayaan istishna diantaranya:
a.
Kepemilikan bahan
ü
Jaminan tersedia
bagi bank.
b.
Risiko penyerahan
ü
Dengan
berbasiskan peraturan “Syart al-Jazai”, bank dapat menambahkan klausal untuk
mengurangi harga istishna dalam kasus keterlambatan ke dalam perjanjian
istishna.
c.
Jual beli tidak
diperbolehkan sebelum penyerahan
ü
Bank bisa
mendapatkan “janji untuk membeli” dari pihak ketiga dan dapat mengatur jual
beli melalui wakil.
d.
Risiko kualitas
ü
Bank dapat
memperoleh jaminan kualitas dari pemasok awal.
F Ijarah
Secara etimologis al-ijarah berasal
dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang
arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat
Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).
Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis
akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi. Sedangkan menurut Sulaiman
Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi
diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan
dijelaskan kemudian.
Berdasarkan hal itu, menyewakan pohon agar
dimanfaatkan buahnya hukumnya tidak sah karena pohon itu sendiri bukan
keuntungan atau manfaat. Demikian juga menyewakan dua jenis mata uang (emas dan
perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditakar dan ditimbang.
Alasannya semua jenis barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan
mengkonsumsi bagian dari barang tersebut. Hukum sewa juga diberlakukan atas
sapi, domba atau unta untuk diambil susunya. Akad sewa mengharuskan penggunaan
manfaat dan bukan barang itu sendiri.
Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat
atas barang, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Kadangkala
dalam bentuk karya seperti karya seorang arsitek, tukang tenun, penjahit.
Apabila akad sewa diputuskan, penyewa
sudah memliki hak atas manfaat dan pihak yang menyewakan berhak mengambil
kompensasi sebab sewa adalah akad mu’awwadhah timbal balik.
Fitur dan
Mekanisme Ijarah
1. Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir),
yaitu memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir);dan
mengakhiri akad Ijarah dan menarik objek Ijarah apabila penyewa tidak mampu
membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
2. Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa
antara lain, yaitu:
a) menyediakan objek ijarah yang disewakan;
b) menanggung biaya pemeliharaan objek
ijarah;
c) menjamin objek ijarah yang disewakan tidak terdapat
cacat dan dapat berfungsi dengan baik.
3. Hak penyewa (musta’jir), antara lain meliputi:
a) menerima objek ijarah dalam keadaan baik dan siap
dioperasikan;
b) menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan.
4. Kewajiban penyewa antara lain meliputi:
a) membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang
diperjanjikan;
b) mengembalikan objek iajrah apabila tidak mampu
membayar sewa;
c) menjaga dan menggunakan objek ijarah sesuai yang
diperjanjikan;\
d) tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan
objek ijarah kepada pihak lain.
Objek ijarah adalah berupa barang modal
yang memenuhi ketentuan, antara lain:
a) objek ijarah merupakan milik dan/atau dalam penguasaan
perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
b) manfaat objek ijarah harus dapat dinilai;
c) manfaat objek ijarah harus dapat diserahkan penyewa (musta’jir);
d) pemanfaatan objek ijarah harus bersifat tidak dilarang
secara syariah (tidak diharamkan);
e) manfaat objek ijarah harus dapat ditentukan dengan
jelas;
f) spesifikasi objek ijarah harus dinyatakan dengan
jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu
pemanfaatannya.
Resiko
Pembiayaan Ijarah
Resiko yang timbul dari pembiayaan ijarah,
diantaranya:
-
Bank membeli aset
sesuai dengan permintaan nasabah, tapi nasabah kemudian menolak menyewa aset
tersebut.
-
Nasabah mungkin gagal
dalam pembayaran uang sewa yang jatuh tempo. Bank mungkin tidak dapat menutup
kerugian atas investasinya; aset kemudian ditarik kembali, tapi tidak mencakup
kerugiannya.
-
Risiko aset dari
pemeliharaan utama/kehancuran.
-
Penghentian dini
dari perjanjian penyewaan.
-
Pihak penyewa
bisa menggunakan aset tanpa berhati-hati sehingga menuntut bank menanggung
pengeluaran pemeliharaan besar.
-
Risiko tingkat
pengembalian karena adanya inflasi.
-
Penjualan aset
pada saat jatuh tempo, nasabah bisa membelinya atau tidak.
Alat
Pengurangan Risiko dalam Pembiayaan Ijarah
Alat/cara yang dapat
digunakan untuk mengurangi risiko dalam pembiayaan ijarah diantaranya:
-
Janji mengingat
untuk menyewakan harus diminta dari nasabah pada saat pemesanan/pembelian aset
oleh bank. Hamish Jiddiyah juga harus diminta dari nasabah. Bank dapat menjual
aset di pasar terbuka dan kerugian aktualnya dapat tertutupi dari Hamish
Jiddiyah.
-
Upaya nasabah
untuk meminta membayar sejumlah uang untuk sosial dalam kasus keterlambatan
pembayaran uang sewa harus diminta ke nasabah. Jumlah uang ini akan diberikan
ke rekening sosial. kerugian aktual dapat ditutup dari Hamish Jiddiyah. Surat
berharga/jaminan dapat pula diberikan.
-
Risiko ini dapat
dikelola melalui fasilitas tafakul.
-
Dengan mengingat
nilai pasar, bank dapat pula mengambil asetnya kembali dan menjualnya di pasar
untuk mencairkan investasinya. Dalam kasus yang lebih berisiko, upaya pembelian
aset pada jadwal harga yang telah di tetapkan dapat diminta dari nasabah.
-
Tanda kepercayaan
harus diminta dari nasabah untuk mengikatnya untuk menggunakan aset sebagai
walinya. Dapat pula disebutkan dalam tanda kepercayaan tersebut bahwa kerugian
yang ditanggung oleh kelalaian nasabah akan ditanggung oleh nasabahnya sendiri.
-
Risiko ini dapat
ditanggulangi dengan tingkat uang sewa mengambang yang dikaitkan dengan tolak
ukur tertentu, yang diperbolehkan asalkan ada batas atas dan batas bawah
tertentu.
-
Hanya aset yang
dapat disewakan yang memiliki nilai jual kembali yang dapat bank jual di pasar.
Kalau tidak, janji terpisah untuk membeli pada akhir periode penyewaaan dapat
diminta dari nasabah.
-
Dalam hal barang yang disewakan adalah milik bank, ketiadaan nasabah
akan menimbulkan risiko tidak
produktifnya asset ijarah.
-
Dalam hal barang yang disewakan adalah bukan milik bank, timbul risiko kerusakan barang diluar pemakaian
normal.
-
Dalam hal jasa
tenaga kerja yang disewakan bank kepada nasabah
memungkinkan timbulnya risiko ketidaksesuaian nasabah terhadap performance
pemberi jasa.
D. Teknik Pengelolaan Risiko
Pada prinsipnya, terdapat empat teknik pengelolaan risiko secara klasik. Keempat teknik tersebut adalah penghindaran
risiko, pengurangan risiko, pemindahan risiko, dan penanganan risiko
(Djohanputro, 2004):
- Penghindaran Risiko
Penghindaran risiko
adalah tindakan bank untuk tidak melakukan kegiatan tertentu yang mengandung risiko yang tidak
diinginkan. Pada dasarnya, tidak ada
manusia yang bisa menghindari risiko, demikian halnya dengan bank. Oleh karena
itu, bank dapat menghindari beberapa risiko
dengan tidak memasuki wilayah bisnis atau kegiatan tertentu. Hal
terpenting adalah kemampuan bank melakukan studi dan identifikasi risiko.
- Pengurangan Risiko
Pengurangan risiko
penting dilakukan oleh bank agar dapat menekan
besarnya risiko. Teknik ini dapat dilakukan dengan cara pengurangan kemungkinan
terjadinya peril (risiko yang menjadi kenyataan) atau menekan besarnya dampak
bila peril terjadi.
- Pemindahan Risiko
Pemindahan atau pengalihan risiko
dilakukan dengan cara memindahkan risiko dari satu pihak ke pihak lainnya
dengan tujuan bisnis, seperti asuransi. Akibat
pemindahan risiko menimbulkan biaya. Terdapat dua macam biaya yang
ditanggung bank akibat mengalihkan risiko kepada pihak lain. Biaya berupa premi
yang harus dibayarkan kepada pihak penanggung risiko dan biaya berupa hilangnya
kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dengan menanggung risiko.
- Penanganan Risiko
Penanganan terhadap risiko dilakukan
karena dua sebab. Pertama, bank secara sadar ingin mempertahankan risiko dan
mengelolanya sendiri. Dengan pertimbangan didasarkan atas efektivitas biaya dan
selama manajemen memiliki kemampuan serta
sumber daya untuk mengelola sehingga
dapat memberikan hasil yang lebih tinggi dari risiko itu sendiri. Kedua, bank tidak mengetahui risiko tersebut sehingga
risiko yang tidak teridentifikasi tidak akan dikelola.
Daftar
Pustaka
Antonio, MS. 2001.
Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Dendawijaya, L. 2000.
Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Djohanputra, B. 2004.
Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi. Jakarta: PPM.
Karim, A. 2003.
Analisis Fiqih dan Keuangan Bank Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kasmir. 2000.
Manajemen Perbankan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kountur, R. 2004. Manajemen Risiko. Jakarta:
Abdi Tandur.
Muhammad Ayub. 2007. Understanding Islamic
Finance. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar