A.
Definisi Multi Akad
Multi dalam bahasa Indonesia berarti (1) banyak; lebih
dari satu; lebih dari dua; (2) berlipat ganda. Dengan demikian, multi akad dalam bahasa Indonesia
berarti akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari satu.
Sedangkan menurut istilah fikih, kata multi akad
merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-’uqûd al-murakkabah yang
berarti akad ganda (rangkap). Al-’uqûd al-murakkabah terdiri dari dua
kata al-’uqûd (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Kata
‘aqd secara etimologi artinya mengokohkan, meratifikasi dan mengadakan
perjanjian. Sedangkan secara terminologi ‘aqd berarti mengadakan
perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan munculnya kewajiban.
Buku-buku
teks fikih muamalah kontemporer, menyebut istilah hybrid contract
dengan istilah yang beragam, seperti al-’uqûd al-murakkabah, al-’uqûd
al-muta’addidah ,
al-’uqûd al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah,
dan al-’uqud al-mukhtalitah, namun istilah yang paling populer ada dua macam, yaitu
al-uqud al-murakkabah dan al-uqud al mujtami’ah.
Al-“Imrani dalam
buku Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah mendefinisikan hybrid
contract yaitu “Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang
mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah,
wakalah, qardh, muzara’ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah …
dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta
semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”
Menurut Wahbah
az-Zuhaili, ‘aqd adalah: “Pertalian atau perikatan antara ijab dan
qabul sesuai dengan kehendak syariah yang menetapkan adanya akibat hukum pada
objek perikatan”
Kata al-murakkabah
(murakkab) secara etimologi berarti al-jam’u (mashdar), yang
berarti pengumpulan atau penghimpunan. Kata murakkab
sendiri berasal dari kata “rakkaba-yurakkibu-tarkîban” yang
mengandung arti meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menumpuk,
ada yang di atas dan yang di bawah. Sedangkan murakkab menurut
pengertian para ulama fikih adalah sebagai berikut:
1. Himpunan
beberapa hal, sehingga disebut dengan satu nama. Seseorang menjadikan beberapa
hal menjadi satu hal (satu nama) dikatakan sebagai melakukan penggabungan (tarkîb).
2. Sesuatu yang
dibuat dari dua atau beberapa bagian, sebagai kebalikan dari sesuatu yang
sederhana (tunggal/basîth) yang tidak memiliki bagian-bagian.
3. Meletakkan
sesuatu di atas sesuatu lain atau menggabungkan sesuatu dengan yang lainnya
Ketiga
pengertian ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk
menjelaskan makna persis dari istilah murakkab. Pengertian pertama lebih
tepat untuk digunakan karena mengandung dua hal sekaligus, yaitu terhimpunnya
beberapa hal dan bersatunya beberapa hal itu yang kemudian menjadi satu
pengertian tertentu. Pengertian kedua tidak menjelaskan akibat dari
terhimpunnya beberapa hal itu. Meski pengertian kedua menyatakan adanya
gabungan dua atau beberapa hal, tetapi tidak menjelaskan apa dan bagaimana
setelah terjadi penggabungan tersebut. Pengertian terakhir lebih dekat kepada
pengertian etimologis, tidak menjelaskan pengertian untuk suatu istilah
tertentu.
Dengan demikian
pengertian pertama lebih dekat dan pas untuk menjelaskan maksud al-’uqûd
al-murakkabah dalam konteks fikih muamalah. Karena itu, akad murakkab menurut
Nazih Hammad adalah:
“Kesepakatan dua pihak untuk
melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli
dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sahraf (penukaran mata
uang), syirkah, mudharabah … dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang
terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang
sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat
hukum dari satu akad.”
Sedangkan
menurut Al-‘Imrani, akad murakkab adalah:
“Himpunan beberapa akad kebendaan
yang dikandung oleh sebuah akad –baik secara gabungan maupun secara timbal
balik– sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai
akibat hukum dari satu akad.”
Multi akad sebenarnya bukanlah teori baru dalam
khazanah fikih muamalah. Para ulama klasik Islam sudah lama mendiskusikan topik
ini berdasarkan dalil-dalil syara’ dan ijtihad yang shahih. Namun, dalam kajian
fikih muamalah di pesantren bahkan di Perguruan Tinggi Islam, isu ini kurang
banyak dibahas, karena belum banyak bersentuhan dengan realita bisnis di
masyarakat. Pada masa kemajuan lembaga keuangan dan perbankan di masa sekarang,
konsep dan topik Multi akad kembali mengemuka dan menjadi
teori dan konsep yang tak terelakkan. Sejumlah buku dan karya ilmiah pun
bermunculan membahas dan merumuskan teori al-‘ukud al-murakkabah (Multi
akad) ini, terutama karya-karya ilmiah dari Timur Tengah.
Tanpa memahami konsep dan teori Multi akad, maka seluruh stake
holders ekonomi syariah sagat dimungkinkan mengalami kesalahan dan
kefatalan, sehingga dapat menimbulkan kemudhratan, kesulitan dan kemunduran
bagi industri keuangan dan perbankan syariah. Semua pihak yang
berkepentingan dengan ekonomi syariah, wajib memahami dan menerapkan konsep
ini, mulai dari dirjen pajak, regulator (BI dan OJK), bankers/praktisi LKS,
DPS, notaris, auditor, akuntan, pengacara, hakim, dosen (akademisi),
dsb. Jadi semua pihak yang terkait dengan ekonomi dan keuangan
syariah wajib memahami teori dan praktek ini dengan tepat dan dengan baik.
Setidaknya terdapat 10 alasan utama mengapa teori dan praktek Multi akad,
perlu dan wajib diketahui terutama oleh praktisi keuangan/perbankan
syariah, regulator, pejabat pajak, pakar ekonomi Islam, DPS, akuntan, notaries,
auditor dan praktisi hukum ekonomi syariah:
Pertama
: karena Multi akad terkait dengan pajak. Banyak
produk perbankan dan keuangan syariah yang mengandung Multi akad,
seperti Musyarakakah Mutanaqishah (MMq), Ijarah Muntahiyah bit Tamlik
(IMBT), pembiayaan take over, pembiayaan rekening koran, line facility,
pasar uang syariah dengan commoditysyariah dan masih banyak lagi.
Pejabat dirjen pajak harus memahami teori Multi akad dengan
tepat agar tidak salah dalam penagihan pajak.
Kedua: Multi akad terkait dengan akuntansi dan PSAK, karena dari
sekian banyak akad dalam sebuah produk pembiayaan, harus diketahui akad mana
yang dicatatkan dalam pembukuan. Dalam akad MMq misalnya, apakah akad ijarah
atau musyarakah yang dicatatkan, demikian pula dalam Multi akad lainnya,
seperti kafalah bil ujrah pada L/C, hiwalah bil ujrah pada anjak piutang,
wakalah bil ujrah pada factoring, produk gadai yang mengandung tiga akad, rahn,
qardh dan ijarah. Apakah penerapan Multi akad membutuhkan PSAK
baru yang lebih relevan dengan teori Multi akad.
Ketiga, Multi akad sangat terkait dengan inovasi produk. Bank-bank
syariah yang ingin mengembangkan dan menginovasi produk harus memahami teori Multi
akad agar bank syariah bisa unggul dan dapat bersaing dengan konvensional.
Dengan demikian, peranan Multi akad sangat penting bagi insdustri perbankan dan
keuangan. Jangan sampai terjadi banker syariah menolak peluang yang halal
karena kedangkalan keilmuan tentang teori-teori pengembangan akad-akad syariah.
Untuk itu teori Multi akad harus digunakan dan difahami dgn baik agar bank
syariah bisa lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan produk-produknya.
Selain itu Multi akad terkait dengan manajemen risiko, termasuk risiko hukum,
karena itu praktisi bank syariah mutlak harus memehami teori dan prakteknya
Keempat: Multi akad terkait dengan regulasi. Para regulator (Bank Indonesia
dan para direktur lembaga keuangan syariah di OJK) harus memahami dengan
baik teori dan praktek ini agar tidak salah dalam membuat aturan. Kesalahan
dalam membuat regulasi, akan berbahaya dan mengganggu pengembangan bank syariah
dan LKS.
Kelima: Multi akad terkait dengan putusan hakim di Pengadilan, putusan
arbitrer di Basyarnas dan terkait dengan risiko hukum. Para hakim yang
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah wajib memahami ini. Berapa banyak
putusan pengadilan yang salah, akibat tidak memahami teori hybrid kontracts,
contoh kasus pembiayaan take over di Bukit Tinggi. Maka pengacara
syariah juga harus mengerti tentang teori dan praktik Multi akad agar tidak
salah dalam melihat akad akad yg serba hybrid, seperti musyarakah mutanaqishah,
pembiayaan take over, novasi, IMBT, dll.
Keenam: Multi akad terkait dgn struktur draft kontrak. Teori Multi akad akan
memandu (memberi pedoman) kepada legal officer dan notaris, akad-akad apa saja
yang bisa disatukan dalam satu draft perjanjian (kontrak) dan akad-akad apa
saja yang harus dipisahkan. Bahkan sampai kepada akad-akad apa saja yang harus
dinotarilkan dan akas-akad apa saja yang dibuat di bawah tangan.
Ketujuh: Multi akad terkait dengan aspek syariah (syariah compliance). Apakah
hybrid contratcs (multi akad) itu mengandung riba atau gharar, apakah hybrid
itu mengandung ta’alluq yang diharamkan, apakah Multi akad itu termasuk
akad bay’atain fi bay’atin atau shafqatain fi shafqah.
Bagaimana penafsiran para ulama tentang hadits itu. Apa dan bagaimana dalil
mereka?, Pendapat mana yang paling rajih (kuat) dan paling maslahah.
Bagaimana pula akad hybrid yang muallaq), dsb.
Kedelapan: Multi akad terkait dengan biaya (cost) notaris. Kalau notaries tidak
memahami teori hybrid, maka semua akad-akad dalam satu produk, akan dikenakan
biaya, semakin banyak akad dalam satu produk, maka akan semakin banyak
biayanya. Misalnya produk pembiayaan take over terdiri dari 3 akad, MMq terdiri
dari 4 akad, IMBT terdiri dari 2 akad ditambah wa’ad, kartu kredit terdiri dari
3 akad, gadai (bisa) terdiri dari 3 akad, ijarah bertingkat (dua akad), begitu
pula ijarah multijasa. Bahkan pembiayaan murabahah bisa terdiri dari 3
akad, murabahah, wakalah dan jaminan. Berhubung banyaknya akad dalam satu
produk, maka teori Multi akad ini harus difahami notaries dan legal offiocer
dengan baik.
Kesembilan: Multi akad terkait dengan hukum positif (harmonisasi) dgn hukum
positif. Hal ini termasuk masalah penting, karena banyak sekali notaries yang
salah faham tentang akad-akad syariah, karena tidak memahami teori syariah
tentang Multi akad. Multi akad dirumuskan kadang sebagai makharij
(jalan keluar) untuk mewujudkan sharia compliance yaitu agar
kontraknya halal dan sesuai syariah, karena itu semua akad itu harus
dilaksanakan walaupun kelihatan seperti berputar (berbelit), tetapi semua itu
dimaksudkan untuk kepatuhan kepada syariah, Dalam prakteknya, terkadang tidak
semua akad-akad itu harus dinotarilkan sebagai akad otentik. Hal ini terjadi
misalnya dalam akad pembiayaan KPR melalui Musyarakah Mutanaqishah, termasuk
pembiayaan take over, instrument commodity syariah untuk pasar uang, pembiayaan
multiguna syariah, hedging dengan Islamic swap, dan sebagainya.
Kesepuluh: Multi akad terkait dengan ke-simple-an dan efisiensi. Tanpa memahami
teori Multi akad selalu terjadi pemborosan (tenaga dan kertas) dan pengulangan
pasal-pasal perjanjian yang tidak perlu. Seringkai terjadi format-format akad
yang terlalu tebal, karena pasal-pasalnya berulang-ulang di setiap judul akad,
dan ini menimbulkan pemborosan tenaga, kertas, dan biaya lainnya, seperti
yang telah terjadi saat ini dimana praktisi perbankan memisahkan akad
Musyarakah Mutanaqishah dan ijarah, padahal keduanya bisa disatukan, sehingga
lebih efisien dan simple, Demikian pula pada pembiayaan take over, sindikasi
dan lain-lain sebagainya.
B.
Jenis Hybrid Contracts
Pertama, Multi Akad yang mukhtalithah (bercampur) yang
memunculkan nama baru, seperti bay’ istighlal, bay’ tawarruq, musyarakah
mutanaqishah dan bay wafa’.
· Jual beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli
dan ijarah, sehingga bercampur 3 akad. Akad ini disebut juga three
in one
· Jual Beli Tawarruq percampuran 2 akad jual beli. Jual Beli 1 dengan pihak
pertama, Jual Beli kedua dengan pihak ketiga.
· Musyarakah Mutanaqishah (MMQ). Akad ini campuran akad syirkah milik
dengan Ijarah yang mutanaqishah atau jual beli yang disifati dengan
mutanaqishah (decreasing). Percampuran akad-akad ini melahirkan nama
baru, yaitu musyarakah mutanaqishah (MMQ). Substansinya hampir sama
dengan IMBT, karena pada akhir periode barang menjadi milik nasabah, namun
bentuk ijarahnya berbeda, karena transfer of title ini bukan
dengan janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang
mutanaqishah, karena itu sebutannya ijarah saja, bukan IMBT.
· Bay’ wafa’ adalah percampuran (gabungan) 2 akad jual beli yang melahirkan
nama baru. Pada awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah, akad ini
merupakan multiakad (hybrid), tetapi dalam proses sejarah menjadi 1 akad,
dengan nama baru yaitu bay wafa’.
Kedua Hybrid Contract yang mujtami’ah/mukhtalitah
dengan nama akad baru, tetapi menyebut nama akad yang lama, seperti sewa
beli (bay’ at-takjiry) Lease and purchase. Contoh lain ialah mudharabah
musytarakah pada life insurance dan deposito bank syariah. Contoh lainnya yang cukup
menarik ialah menggabungkan wadiah dan mudharabah pada GIRO, yang bisa disebut Tabungan dan Giro Aotomatic
Transfer Mudharabah dan Wadiah. Nasabah mempunyai 2 rekening, yakni tabungan
dan giro sekaligus (2
rekening dlm 1 produk). Setiap
rekening dapat pindah secara otomatis jika salah rek membutuhkan.
Ketiga Hybrid contract, yang akad-akadnya tidak
bercampur dan tidak melahirkan nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap
ada dan eksis dan dipraktekkan dalam suatu transaksi. Contohnya :
1. Kontrak akad pembiayaan take over pada alternatif 1 dan 4 pada
fatwa DSN MUI No 31/2000.
2. Kafalah wal ijarah pada kartu kredit,
3. Wa’ad untuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah, dll pada pembiayaan
rekening koran or line facility.
4. Murabahah wal wakalah pd pembiayaan murabahah basithah.
5. Wakalah bil ujrah pada L/C, RTGS, General Insurance, Factoring,
6. Kafalah wal Ijarah pada LC, Bank Garansi, pembiayaan multi jasa / multi
guna, kartu kredit.
7. Mudharabah wal murabahah/ijarah/istisna pada pembiayaan terhadap karyawan
koperasi instansi.
8. Hiwalah bil Ujrah pada factoring.
9. Rahn wal ijarah pada REPO SBI dan SBSN
10. Qardh, Rahn dan Ijarah pada produk gadai emas di bank syariah
Keempat, Hybrid
Contract yang akad-akadnya
berlawanan (al-’uqûd
al-mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah). Ketiga istilah al-mutanâqidhah,
al-mutadhâdah, al-mutanâfiyah memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung
maksud adanya perbedaan. Tetapi ketiga istilah ini mengandung implikasi yang
berbeda. Mutanâqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh
seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang
pertama. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar, lalu berkata lagi sesuatu
itu salah. Perkataan orang ini disebut mutanâqidhah, saling berlawanan.
Dikatakan mutanâqidhah karena antara satu dengan yang lainnya tidak
saling mendukung, melainkan mematahkan.
Bentuk ini dilarang dalam syariah. Contohnya menggabungkan akad
jual beli dan pinjaman (bay’ wa salaf). Contoh lain,
menggabungkan qardh wal ijarah dalam satu akad. Kedua contoh tersebut dilarang
oleh nash (dalil) syariah, yaitu hadits Rasulullah SAW. Contoh lainnya
: menggabungkan qardh dengan janji hadiah.
C.
Hukum dan Pandangan Ulama
Tentang Hybrid Contracts
Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status hukum dari akad-akad
yang membangunnya. Seperti contoh akad bai’ dan salaf yang secara jelas
dinyatakan keharamannya oleh Nabi s.a.w.. Akan tetapi jika kedua akad itu
berdiri sendiri-sendiri, maka baik akad bai’ maupun salaf diperbolehkan.
Begitu juga dengan menikahi dua wanita yang bersaudara sekaligus haram
hukumnya, tetapi jika dinikahi satu-satu (tidak dimadu) hukumnya boleh.
Artinya, hukum multi akad tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang
membangunnya. Bisa jadi akad-akad yang membangunnya adalah boleh ketika berdiri
sendiri, namun menjadi haram ketika akad-akad itu terhimpun dalam satu
transaksi. Dapat disimpulkan bahwa hukum dari multi akad belum tentu sama
dengan hukum dari akad-akad yang membangunnya. Dengan kata lain, hukum
akad-akad yang membangun tidak secara otomatis menjadi hukum dari multi akad.
Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi akad ini
adalah boleh dan hukum dari multi akad diqiyaskan dengan hukum akad yang
membangunnya. Artinya setiap muamalat yang menghimpun beberapa akad, hukumnya halal
selama akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Ketentuan ini memberi peluang
pada pembuatan model transaksi yang mengandung multi akad.
Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan
dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multi akad sah dan
diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai hal ini
ulama berada dalam dua pendapat tersebut; membolehkan dan melarang.
Mayoritas ulama Hanâfiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama
Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah dan
diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa
hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan
selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya.
Menurut Ibnu Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah
boleh kecuali yang diharamkan Allah dan RasulNya, tiada yang haram kecuali yang
diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.
Hukum asal dari syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi multi akad,
selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya
boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang,
maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus
yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai
pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan
akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari
akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.
Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum
dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah
telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang
dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah
boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula
tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya.
Aliudin Za’tary
dalam buku Fiqh Muamalah Al-Maliyah al-Muqaran mengatakan “ Tidak
ada larangan dalam syariah tentang penggabungan dua akad dalam satu
transaksi, baik akad pertukaran (bisnis) maupun akad tabarru’. Hal ini
berdasarkan keumuman dalil-dalil yang memerintahkan untuk
memenuhi (wafa) syarat-syarat dan akad-akad”
Mayoritas ulama
Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali
berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah sah dan diperbolehkan
menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal
dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak
ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. (Al-‘Imrâni, Al-’uqûd
al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 69). Kecuali menggabungkan dua akad yang
menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan qardh dengan akad
yang lain, karena adanya larangan hadits menggabungkan jual beli dan
qardh. Demikian pula menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam
satu transaksi.
Menurut Ibn
Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang
diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah,
dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.( Ibn Taimiyah, Jâmi’
al-Rasâil, j. 2, hal. 317).
Nazih Hammad
dalam buku al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy
menuliskan, ”Hukum dasar dalam syara’ adalah bolehnya melakukan
transaksi hybrid contract , selama setiap akad yang membangunnya
ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang
melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan
secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu.
Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang
berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang
telah disepakati. (Nazîh Hammâd, al-’uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh
al-Islâmy, hal. 8)
Demikian pula dengan
Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah,
kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.(Ibn al-Qayyim, I’lâm
al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 344).
Al-Syâtiby
menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya,
hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang
diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal
dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât
ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan
atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar
kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip
dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud).[1]
( Al-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 1, hal. 284)
Pendapat ini
didasarkan pada beberapa nash yang menunjukkan kebolehan multi akad dan akad
secara umum. Pertama firman Allah dalam surat al-Mâidah ayat 1 yang artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman penuhilah olehmu akad-akad”. (QS. Al-Mâidah : 1).
D. Batasan dan Standar Multi Akad
Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti membolehkan
secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati. Karena batasan
ini akan menyebabkan multi akad menjadi dilarang. Di kalangan ulama,
batasan-batasan ini ada yang disepakati dan diperselisihkan. Secara umum,
batasan yang disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1.
Multi akad dilarang karena nash agama
Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad yang
dilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba’i) dan pinjaman, dua akad
jual beli dalam satu akad jual beli dan dua transaksi dalam satu transaksi
Dalam sebuah hadis disebutkan: “Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah s.a.w. melarang
jual beli dan pinjaman.” (HR Ahmad).
Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya diketahui
oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak jelas, maka hukum
dari akad itu dilarang. Imam asy-Syafi’i
memberi contoh, jika seseorang hendak membeli rumah dengan harga seratus,
dengan syarat dia meminjamkan (salaf) kepadanya seratus, maka sebenarnya
akad jual beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan seratus atau lebih.
Sehingga harga dari akad jual beli itu tidak jelas, karena seratus yang
diterima adalah pinjaman (‘âriyah). Sehingga penggunaan manfaat dari
seratus tidak jelas; apakah dari jual beli atau pinjaman.
Ibnu al-Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf
(memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, meskipun kedua akad itu jika
berlaku sendiri-sendiri hukumnya boleh. Larangan menghimpun salaf dan
jual beli dalam satu akad untuk menghindari terjurumus kepada ribâ yang
diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan (qardh) seribu,
lalu menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah
memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua
ribu. Di sini ia memperoleh kelebihan dua ratus.
Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama
juga sepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam
satu transaksi. Semua akad yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk
dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti antara ijarâh dan
qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh, dan
sebagainya. Meski
penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun menurut al-‘Imrâni
tidak selamanya dilarang. Penghimpunan dua akad ini diperbolehkan apabila tidak
ada syarat di dalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga melalui qardh.
Seperti seseorang yang memberikan pinjaman kepada orang lain, lalu beberapa
waktu kemudian ia menjual sesuatu kepadanya padahal ia masih dalam rentang
waktu qardh tersebut. Yang demikian hukumnya boleh. Sedangkan
larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan
pada hadis Nabi yang berbunyi: “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah
s.a.w. melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR Malik).
2.
Multi akad sebagai hîlah ribâwi
Multi akad yang
menjadi hîlah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli ‘înah
atau sebaliknya dan hîlah ribâ fadhl.
a.
Al-‘Înah
Bai al-Inah adalah akad jual beli
ketika penjual menjual asetnya kepada pembeli dengan janji untuk dibeli kembali
(sale and buy back) dengan pihak yang sama. Bai al-Inah adalah penjualan
tunai (cash sale) dilanjutkan dengan pembelian kembali dengan tangguh (deferred
payment sale / BBA).
Bai’ al-inah secara umum dapat
digambarkan sebagai berikut : seorang pedagang menjual barang dagangannya
dengan diangsur sampai batas waktu yang telah disepakati. Setelah itu, ia
membelinya kembali pada majlis yang sama secara kontan dengan harga yang lebih
rendah dari harga jual pertama. Bai ‘Inah secara konsepnya berarti
menjual barang dan kemudian membeli kembali barang tersebut pada harga yang
berbeda, dengan harga tertangguh yang lebih tinggi dari harga tunai.
Definisi bai` inah menurut para ulama adalah
seperti berikut:
1. Imam Syafi'i: "Membeli
sesuatu dari seseorang secara hutang, kemudian setelah barang tersebut diterima
olehnya (Qabdh), barang tersebut dijual kembali kepada pemilik asal atau
ke pihak ketiga baik dengan harga tunai yang lebih rendah atau lebih tinggi,
atau secara hutang atau dengan penukaran barang. "
2. Al-Haskafi: "Menjual
sesuatu secara ditangguhkan untuk mendapat keuntungan. Pihak yang berhutang
akan menjualnya kembali pada harga yang lebih rendah untuk menjelaskan
utangnya."
3. Al-Zaila `i:" Menjual
barang secara ditangguhkan, dan membelinya kembali dengan harga yang lebih
rendah secara tunai. "
4. Al-Dardir: "Penjualan
yang dilakukan oleh seseorang yang diminta darinya sesuatu yang tidak dalam
pemilikannya."
5. Al-Rafi `i:" Menjual
sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh. Barang tersebut diserahkan kepada
pembeli, dan sebelum menerima pembayaran penjualan (pertama), dia membelinya
kembali secara tunai dengan harga yang lebih rendah. "
6. Ibnu Qudamah: "Menjual
sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh, dan membelinya kembali dengan
harga yang lebih rendah."
Landasan
Hukum
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw
bersabda, “Apabila kamu berjual beli secara ‘inah dan 'memegangi ekor-ekor sapi' [kinayah/kiasan
sibuk dengan urusan peternakan/keduniaan] dan puas dengan pertanian serta
meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan atas kamu kehinaan, dia tidak
akan mencabut hingga kamu kembali kepada agamamu.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no:423 dan “Aunul Ma’bud IX:335 no:3445).
Misalkan: si A
membutuhkan dana cash sebesar Rp 10 juta untuk biaya operasional bisnisnya. Ia
kemudian mendatangi bank syariah dimana pihak bank setuju untuk menjual asset
kepada si A senilai Rp 10 juta dengan sistem pembayaran cicilan (installment
payment). Setelah itu, segera si A membuat perjanjian baru dengan bank syariah
untuk menjual assetnya kembali kepada pihak bank secara tunai seharga Rp 8
juta. Dalam hal ini, kedua belah pihak sama-sama diuntungkan : si A memperoleh
‘pinjaman’ Rp 10 juta dan bank mendapatkan keuntungan Rp 10 juta – Rp 8 juta =
Rp 2 juta.
Contoh aplikasinya
yang lain adalah sebagai berikut:
Hasan membutuhkan uang kas sebanyak Rp
20 juta untuk membiayai kegiatan operasional usahanya. Hasan kemudian meminta
bantuan kepada pihak bank syariah. Kemudian bank syariah tersebut akan menjual
aset seharga Rp 25 juta pada Hasan dengan pembayaran yang ditangguhkan
(installment basis). Setelah itu, Hasan segera membuat perjanjian dengan bank
untuk menjual kembali aset tersebut pada pihak bank secara tunai seharga Rp 20
juta (sesuai dengan kebutuhan kegiatan operasional). Dalam hal ini kedua-duanya
sama-sama diuntungkan; Hasan memperoleh pinjaman sebanyak Rp 20 juta dan bank
mendapatkan keuntungan sebesar Rp5 juta (Rp 25 juta-Rp 20 juta).
Dari contoh
tersebut dapat disimpulkan bahwa dua pihak yang terlibat transaksi tersebut
tidak menggunakan kontrak penjualan (sales contract) sebagaimana mestinya.
Dengan tidak adanya niat untuk menggunakan aset, maka bisa diartikan bahwa
mereka melanggar salah satu prinsip kontrak dalam Islam, yaitu tujuan kontrak
(maudu'ul aqdi).
Perbedaan Pendapat diantara Para Ulama
Mayoritas ulama
menyatakan bahwa bai’ al-inah dilarang sebab ia mengandung suatu cara (zari’ah)
untuk melegitimasi riba. Hanafi berpendapat bahwa bai’ al-inah diperbolehkan
hanya jika melibatkan pihak ketiga. Diriwayatkan
dari Anas bahwa ia pernah ditanya perihal bai’ al-inah maka jawabnya,
“Sesungguhnya Allah tidak pernah menipu (hamba_nya), (bai’ al-inah) termasuk
hal-hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abbas pernah berkata,
“Waspadalah kalian terhadap bai’ al-inah ini. Janganlah menukar dirham dengan
dirham yang lain yang diantara keduanya ada
sutra.” Maliki dan Hambali secara tegas menolak ba’ al-inah karena ia
adalah suatu cara untuk memanipulasi riba.
Sedangkan ulama yang membolehkan bai’ al-inah diantaranya
adalah Syafi’i dan Zahiri. Imam Syafi’i menurut satu riwayat membolehkan bai’
al-inah berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan
Abu Hurairah, “Tukarkanlah kurma yang jelek dengan uang dirham, kemudian dengan
uang dirham itu hendaklah engkau membeli kurma yang bagus.”
Dalam mencermati masalah bai’ al-inah ini, menarik untuk
dicermati adalahpendapat Ibnu Taimiyah tentang penjualan (sales). Ibnu Taimiyah
membagi penjualan menjadi 3 (tiga) kelompok : Pertama, seseorang membeli barang
dengan tujuan untuk dikonsumsi. Tentu saja dalam hal ini hukum Islam
membolehkannya. Kedua, seseorang membeli barang dalam rangka untuk dijual
kembali. Dalam hal ini pun Islam tidak melarangnya. Ketiga, seseorang membeli
barang bukan untuk tujuan seperti kelompok pertama dan kedua, namun untuk
mendapatkan uang. Karena meminjam uang sangat sulit, ia harus membeli barang
dengan harga yang lebih tinggi dan segera setelah itu dijual kembali kepada
pihak yang sama untuk mendapatkan uang kas.
Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa agama menetapkan seseorang yang memberikan qardh
(pinjaman) agar tidak berharap dananya kembali kecuali sejumlah qardh yang
diberikan, dan dilarang menetapkan tambahan atas qardh baik dengan hîlah
atau lainnya. Demikian pula dengan jual beli disyariatkan bagi orang yang
mengharapkan memberikan kepemilikan barang dan mendapatkan harganya, dan
dilarang bagi yang bertujuan ribâ fadhl atau ribâ nasa‘, bukan
bertujuan pada harga dan barang. Demikian pula
dengan transaksi kebalikan ‘inah juga diharamkan. Seperti seseorang
menjual sesuatu dengan harga delapan puluh tunai dengan syarat ia membelinya
kembali dengan harga seratus tidak. Transaksi seperti ini telah menyebabkan
adanya ribâ.
b. Hîlah ribâ
fadhl
Hal ini terjadi apabila seseorang menjual sejumlah (misalnya 2 kg beras)
harta ribawi dengan sejumlah harga (misalnya Rp 10.000) dengan syarat
bahwa ia – dengan harga yang sama (Rp 10.000)- harus membeli
dari pembeli tadi sejumlah harta ribawi sejenis yang kadarnya lebih banyak
(misalnya 3 kilogram) atau lebih sedikit (misalnya 1 kilogram). Transaksi
seperti ini adalah model hîlah ribâ fadhl yang diharamkan.
Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman Nabi
s.a.w. di mana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas
sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga
kilo dan seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi s.a.w., dan beliau
mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga
sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga
sendiri.
Maksud hadis di atas, menurut Ibn al-Qayyim, adalah akad jual beli pertama
dengan kedua harus dipisah. Jual beli kedua bukanlah menjadi syarat sempurnanya
jual beli pertama, melainkan berdiri sendiri. Hadis di atas ditujukan agar dua
akad itu dipisah, tidak saling berhubungan, apalagi saling bergantung satu
dengan lainnya.
1) Multi akad menyebabkan jatuh ke ribâ
Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti ribâ, hukumnya
haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa
akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang menyebabkan
hukumnya menjadi dilarang. Hal ini terjadi seperti pada contoh:
2) Multi akad antara akad salaf dan jual beli
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi melarang multi akad antara akad
jual dan salaf. Larangan ini disebabkan karena upaya mencegah (sadd
adz-dzarî’ah) jatuh kepada yang diharamkan berupa transaksi ribawi.
Jumhur ulama
melarang praktik multi akad ini, yakni terjadinya penghimpunan akad jual beli
(mu’âwadhah) dengan pinjaman (qardh) apabila dipersyaratkan. Jika
transaksi multi akad ini terjadi secara tidak disengaja diperbolehkan karena
tidak adanya rencana untuk melakukan qardh yang mengandung ribâ.
3) Multi akad antara qardh dan hibah kepada pemberi
pinjaman (muqridh)
Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan
lebih, berupa hibah atau lainnya. Seperti contoh, seseorang meminjamkan
(memberikan utang) suatu harta kepada orang lain, dengan syarat ia menempati
rumah penerima pinjaman (muqtaridh), atau muqtaridh memberi hadiah kepada
pemberi pinjaman, atau memberi tambahan kuantitas atau kualitas objek qardh
saat mengembalikan. Transaksi seperti ini dilarang karena mengandung unsur
ribâ.
Apabila transaksi pinjam meminjam ini kemudian disertai hadiah atau
kelebihan, tetapi dilakukan sendiri secara sukarela oleh orang yang diberi
pinjaman, tanpa ada syarat dan kesepakatan sebelumnya hukumnya halal, karena
tidak mengandung unsur ribâ di dalamnya.
4) Multi akad terdiri dari akad-akad yang
akibat hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan
Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara akad-akad yang
berbeda ketentuan hukumnya dan/atau akibat hukumnya saling berlawanan atau
bertolak belakang. Larangan ini didasari atas larangan Nabi menggabungkan akad
salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang berbeda. Jual beli
adalah kegiatan muamalah yang kental dengan nuansa dan upaya perhitungan
untung-rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial yang mengedepankan aspek
persaudaraan dan kasih sayang serta tujuan mulia. Karena itu, ulama Malikiyah
melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara jual
beli dengan ju’âlah, sharf, musâqah, syirkah, qirâdh, atau nikah.
Meski demikian, sebagian ulama Malikiyah dan
mayoritas ulama non-Malikiyah membolehkan multi akad jenis ini. Mereka
beralasan perbedaan hukum dua akad tidak menyebabkan hilangnya keabsahan akad.
Dari dua pendapat ini, pendapat yang membolehkan multi akad jenis ini adalah
pendapat yang unggul. Larangan multi akad ini karena penghimpunan dua
akad yang berbeda dalam syarat dan hukum menyebabkan tidak sinkronnya kewajiban
dan hasil. Hal ini terjadi karena dua akad untuk satu objek dan satu waktu,
sementara hukumnya berbeda. Sebagai contoh tergabungnya antara akad
menghibahkan sesuatu dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan (mutadhâdah)
inilah yang dilarang dihimpun dalam satu transaksi.